Selasa, 22 November 2016

Pangeran Dipanegoro, Pahlawan Nasional Republik Indonesia asal Yogyakarta

Hasil gambar
Meninggal: 8 Januari 1855, Makassar
Kebangsaan: Indonesia
Dipanegara ialah putra sulung Hamengkubuwono III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan nama Mustahar dari seorang garwa ampeyan [selir] bernama R. A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan [istri non permaisuri] yg berasal dari Pacitan. Pangeran Dipanegara bernama kecil Raden Mas Antawirya [Bahasa Jawa: Ontowiryo]. Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Dipanegara menolak keinginan ayahnya, Sultan hamengkubuwono III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Dipanegara mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Kedhaton, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.

Pangeran Diponegoro Pejuang Berhati Bersih

Dipanegara lebih tertarik pada kehidupan keagamaan & merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V [1822] dimana Dipanegara menjadi salah satu anggota perwalian yg mendampingi Hamengkubuwana V yg baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tak disetujui Dipanegara. Dipanegara atau dikenal dengan gelar Pangeran Dipanegara [Bahasa Jawa: Diponegoro] [lahir di Yogyakarta, 11 November 1785-meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun] ialah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Makamnya berada di Makassar.

Penangkapan & Pengasingan Pangeran Dipanegara

16 Februari 1830 Pangeran Dipanegara & Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen [sekarang masuk wilayah Purworejo]. Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran & pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
28 Maret 1830 Dipanegara menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan & mendesak Dipanegara agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Dipanegara. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Dipanegara ditangkap & diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, & langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
11 April 1830 sampai di Batavia & ditawan di Stadhuis [sekarang gedung Museum Fatahillah]. Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.
30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Dipanegara, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Dipasana & istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, & Nyai Sotaruna akan dibuang ke Manado.
3 Mei 1830 Dipanegara & rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado & ditawan di benteng Amsterdam.
1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
8 Januari 1855 Dipanegara wafat & dimakamkan di Makassar, tepatnya di Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, sekitar empat kilometer sebelah utara pusat Kota Makassar.

Perjuangan Ki Sodewo Putera Pangeran Dipanegara

Bagus Singlon atau Ki Sodewo ialah Putera Pangeran Dipanegara dengan Raden Ayu Citrawati Puteri Bupati Madiun Raden Rangga. Raden Ayu Citrowati ialah saudara satu ayah lain ibu dengan Sentot Prawiro Dirjo. Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki Sodewo sendiri telah masuk dlm daftar silsilah yg dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem Keraton Yogyakarta. Dalam perjuangannya, Pangeran Dipanegara dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo & Bagelen.
Perjuangan Ki Sadewa untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian eyangnya [Ronggo] & ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yg sudah dikendalikan oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil & Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang bukti suksesnya penyerbuan. Ki Sodewo yg masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Dipanegara lalu dititipkan pada sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi & selalu berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tak tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu sangat membenci anak turun Raden Ronggo yg sejak dulu terkenal sebagai penentang Belanda. Atas kehendak Pangeran Dipanegara, bayi tersebut diberi nama Singlon yg artinya penyamaran.
Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan Ki Sodewo pada saat itu dengan bermacam macam profesi. Dengan restu para sesepuh & dimotori oleh keturunan ke 7 Pangeran Diponegoro yg bernama Raden Roni Muryanto, Keturunan Ki Sodewo membentuk sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban Trah Sodewo. Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra & 5 orang putri, yg semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku.

Perang Diponegoro, Kegigihan Melawan Penjajahan Belanda

Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri & artileri, yg sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dlm pertempuran frontal, di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota & desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan & dasar jurang.
Produksi mesiu & peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi & kurir bekerja keras mencari & menyampaikan informasi yg diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh & waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik & strategi yg jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi. Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai “senjata” tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha usaha untuk gencatan senjata & berunding, karena hujan tropis yg deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat.
Penyakit malaria, disentri, & sebagainya merupaken “musuh yg tak tampak” melemahkan moral & kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan & menyebarkan mata-mata & provokator mereka bergerak di desa & kota; menghasut, memecah belah & bahkan menekan anggota keluarga para pengeran & pemimpin perjuangan rakyat yg berjuang dibawah komando pangeran Dipanegara. Namun pejuang pribumi tersebut tak gentar & tetap berjuang melawan Belanda. Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23. 000 orang serdadu; suatu hal yg belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu wilayah yg tak terlalu luas seperti Jawa Tengah & sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu.
Dari sudut kemiliteran, ini ialah perang pertama yg melibatkan semua metode yg dikenal dlm sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka [open warfare], maupun metoda perang gerilya [geurilia warfare] yg dilaksanakan melalui taktik hit and run & penghadangan. ini bukan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yg memanfaatkan berbagai siasat yg saat itu belum pernah dipraktekkan. perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf [psy-war] melalui insinuasi & tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yg terlibat langsung dlm pertempuran; & kegiatan telik sandi [spionase] dimana kedua belah pihak saling memata-matai & mencari informasi mengenai kekuatan & kelemahan lawannya. Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Dipanegara dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Dipanegara terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap.
Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi & panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Dipanegara di Magelang. Pangeran Dipanegara menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Dipanegara ditangkap & diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar sampai wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Berakhirnya Perang Jawa yg merupaken akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8. 000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7. 000 pribumi, & 200. 000 orang Jawa. Sehingga sesudah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Dipanegara dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan HB IX memberi amnesti bagi keturunan Dipanegara, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yg dipunyai Dipanegara kala itu. Kini anak cucu Dipanegara dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus Silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.

Pahlawan Nasional Indonesia Pangeran Diponegoro

Sebagai penghargaan atas jasa Diponegoro dlm melawan penjajahan. Di beberapa kota besar Indonesia terdapat jalan Diponegoro. Kota Semarang sendiri juga memberikan apresiasi agar nama Pangeran Diponegoro akan senantiasa hidup. Nama nama tempat yg menggunakan nama beliau antara lain Stadion Diponegoro, Jalan diponegoro, Universitas Diponegoro , Kodam IV Diponegoro. Juga ada beberapa patung yg dibuat, patung Diponegoro di Undip Pleburan, patung Diponegoro di Kodam IV Dipanegara serta di pintu masuk Undip Tembalang.
Sumber : http://www.sejarahnusantara.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar