Selasa, 26 Februari 2019

“MAKNA FORT ORANJE CULTURAL DAN JAZZ FESTIVAL 2019.”


[Jazz, Nalar dan Demokrasi]
oleh : Syaiful Bahri Ruray
Kafe Jakofi, 12 Februari 2019.
 

NKRI -  Ternate - Pada 22 dan 23 Februari 2019 kemarin, telah sukses di gelar perhelatan musik bernuansa jazz di benteng Oranje. Benteng ini dipilih karena ia merupakan sebuah titik awal pertautan kultural antara timur dan barat di nusantara. Benteng Oranje di bangun oleh  Cornelis Metalief de Jonge pada 26 Mei 1607 dan di selesaikan oleh Francois Wittert pada 1609. Awalnya benteng ini adalah benteng melayu, dimana para pedagang melayu sering menempatinya ketika mereka berdagang rempah- rempah di Ternate. Ternate sendiri adalah titik awal Bandar jalur sutera karena perdagangan rempah-rempah nusantara dengan manca negara.


Sebelum kedatangan bangsa Belanda ke Ternate, yang diawali oleh Jacob Corneliszoon van Neck [1588], dan disusul Wijbrand van Warwijk [1599], Ternate telah dikunjungi bangsa Portugis [1512], Spanyol [1521] dan Inggris [1579].Tercatat pelaut Inggris Francis Drake, yang memasuki perairan Moti pada 3 November 1579, kemudiandipandu Sangaji Moti, memasuki dermaga Talangame [Bastiong], Ternate pada 4 November 1579.Armada Inggris ini sempat menerima kunjungan Sultan Babullah di atas kapal bendera Golden Hind pada 6 November 1579, dimana Babullah disambut resmi oleh seluruh perwira kapal dengan penghormatan penuh berupa 12kalitembakan salvo dan kemudian di iringi oleh korps musik[brass music]eskader Inggris yang berjumlah 5 kapal tersebut. Inilah alunan musik brass Inggris yang pertama kali tercatat diperdengarkan di nusantara.
Adapun jauh sebelumnya, para pedagang Cina, Arab, Gujarat-India, Jawa dan Melayu telah menjadikan Ternate sebagai Bandar perdagangan rempah-rempah mereka. Benteng Oranje sendiri adalah  bekas benteng melayu itu kemudian di ubah menjadi markas besar VOC se Asia Tenggara dimana Ternate sempat dipimpin oleh 4 Gubernur Jenderal Belanda, masing- masing Pieter Both, Laurens Reael, Gerard Reinst dan Jan Pieterzon Coen. Pada periode Gubernur Jenderal Belanda ke empat Jan Pieterzon Coen, barulah VOCmemindahkan ibukota dari  Ternate ke Jakarta dan merubah Jakarta menjadi Batavia pada 1619.

Kita dapat bertanya kenapa harus Ternate menjadi pusat perhatian? Karena magnet  cengkih ternyata luar biasa. Artefak cengkih telah ditemukan pada peninggalan arkeologis Terqa Mesopotamia (Syria) pada 1700 SM. Pada milenium pertama SM, era China, India hingga Romawi, cengkih telah diperdagangkan. Bangsa China adalah manusia pertama yang memperdagangkan cengkih ke seantero dunia. Tidak mengherankan jika sejarawan Profesor A.B.Lapian menyatakan jalur sutera atau silk road itu, sebenarnya berawal dari Ternate atau Maluku. Jalur tersebut secara historis sepantasnya disebut the spices road atau jalur rempah-rempah. Karena melalui perdagangan rempah-rempah itulah terjalin peradaban kuno sejak Dinasti Han (220-206 SM) hingga hari ini kita mengenal dengan istilah globalisasi.

Benteng Oranje, dengan demikian adalah sebuah monumen globalisasi dimana terjadi puncak pertautan peradaban antara timur dan barat. Pertautan peradaban itu, juga memiliki makna imperialisme, kolonialisme, bahkan juga menghasilkan Indonesia modern yang kita kenal sebagai negara bangsa dewasa ini. Bukankah negara ini ada sebagai kelanjutan dari Hindia Belanda dan dibentuk berdasarkan Traktat London,1824 itu. Karena tanpa kolonialisme, nusantara adalah hamparan kerajaan-kerajaan yang tidak terikat satu sama lainnya. Kolonialisme pada sisi lain, ternyata telah mempersatukan kita dalam sebuah nation state [negara bangsa] Indonesia. Tidaklah mengherankan jika Ben Anderson menyebut negara terbentuk dari imagined communities.
Dalam konteks itulah benteng Oranje sebagai monumen kultural,  melatarbelakangi teman-teman musisi Maluku Utara memilihnya sebagai tempat perhelatan musik jazz yang pertama diadakan di kota rempah-rempah, Ternate ini.

Ternate sendiri, sebagai pusat peradaban bangsa-bangsa pada masa lalu, tentu telah mengalami banyak akulturasi dam asimilasi kultural, termasuk seni musik dalan kebudayaan lokalnya. Kita bisa menemukan tarian ‘dadanza’ peninggalan Spanyol, termasuk peninggalan Portugis berupa polka, katreji dan mazurkas di Labuha, Bacan, sebagaimana ditulis ilmuwan Inggris Alfred Russel Wallace dalam magnum opusnya Malay Archipelago. Ternate sebelum kemerdekaan pun pernah memiliki kelompok brass musik dari Kalumpang dan Santiong yang dinamakan“Tessor.”Karena grup brass musik ini pemain terompet dan saxophone nya rata-rata berasal dari keluarga Tess dan Assor. Grup ini konon pernah menerima persembahan seperangkat alat tiup dari Ratu Belanda Juliana. Mereka ini adalah musisi alamiah, berbakat tanpa dipoles pendidikan musik secara formal melalui sebuah konservatorium sebagaimana kota-kota besar di Eropa. Dua kampung ini hingga kini masih menyisakan blower musik tiup kesohor. Sebutlah nama Alm. Karim Tess, seorang trumpetis jazz kawakan yang pernah mendampingi “Ireng Maulana All Star.” Mereka juga pernah mewakili Indonesia pada berbagai festival jazz level dunia seperti North Sea Jazz Festival di Den Haag, Belanda.Juga nama Amri Kahar (Muraji Tess), seorang blower group band Black Brothers yang sekarang menetap di negeri Belanda. Ternate tempo doeloe juga pernah memiliki orkes El-Morgam yang sangat kesohor pada zamannya.

Pada era 1960-an hingga 1970-an kelompok musik Ternate ini juga membentuk sebuah group band yang cukup kesohor di Jakarta bernama “The Tankers.” Band ini memang terdiri dari pasukan brass musik Kalumpang dan Santiong, dimana mereka adalah karyawan PN. Pertamina divisi perkapalan [tongkang], dibawah Direktur Utama PN. Pertamina Ibnu Sutowo. Sebutlah nama-nama pemain The Tankers seperti Alm. Zainal Tess, dan Anwar Tess yang sekarang pesiunan Pertamina, namun masih giat sebagai musisi senior yang menenteng trumpet kemana-mana. The Tankers pada era 1970-an bahkan bermain sebagai homeband pada Ramayana Bar milik Pertamina di New York, Amerika Serikat. Biduan senior Bob Tutupoly, adalah penyanyi merangkap mc pada Ramayana Bar tersebut.
Adapun warna musik di Ternate, memang sedikit bernuansa latin dan kaya akan perkusi. Saya melihat faktor akulturasi Portugis dan Spanyol turut mewarnai kebudayaan lokal kita di Maluku Utara. Sebagaimana hal yang sama dapat ditemui pada keroncong Tugu di Jakarta yang notabene adalah peninggalan Portugis. Di Ternate kita bisa melihat warna pada karya-karya klasik seperti beberapa gubahan Engku Doel Syafar (Drs. A.K Syafar), misalnya dalam lagu Rosi Seli dan Demo Madero yang bernuansa latin. Beliau juga mengarang lagu Naro Oti, Cala Ibi dan Borero yang sangat melegenda hingga sekarang. Juga karya Abdullah Baay seperti lagu Cangkole, bisa diaransemen menjadi latin-funky dengan perkusi yang kuat. Abdullah Baay juga mengarang Una Kapita yang popular dimana-mana. Saya pernah menonton dari jarak dekat Tess Brothers dalam sebuah perhelatan keluarga, membawakan lagu “Moku-Moku Sose” dalam balutan brass dan perkusi yang sangat kaya. Lagu ini dibawakan Karim Tess, Anwar Tess dan kawan-kawan dengan nuansa jazz. Juga dalam sebuah rekaman lama penyanyi Melky Goeslaw, ia pernah membawakan lagu “Lala Yon” yang di iringi Yopie Item Band dengan aransemen latin jazz.

Musisi jazz Ternate dapat ditelusuri hingga Jogja, tercatat Wahyudi Nachrawy (alm), seorang guitarist jazz di Jogja yang cukup kesohor hingga akhir hayatnya. Ia menjadi leader pada homeband Stasiun TVRI Jogja pada era 1980-an sebelum maraknya stasiun televise swasta. Dari ayahanda Wahyudi Nachrawi, Alm.Haji Ismail Nachrawi, pendiri group band The Indras, beliau menyampaikan kepada saya bahwa sejak awal beliau membentuk band The Indras pada akhir 1970-an,sebenarnya diniatkan sebagai band jazz. Memang Ismail Nachrawy sejak muda adalah musisi jazz di kota Makassar sezaman dengan orang tua penyanyi jazz Drg.Rien Jamain. Beliau seangkatan dengan Jack Lesmana [Jack Lemmers] dan Bubby Chen pada era 1950-an. Ismail Nachrawy sendiri adalah seorang pemain bass guitar yang handal.

Nakh, benang merah panjang pertautan peradaban antar bangsa di Ternate ini, yang akan ditampilkan dalam de Fort Oranje Cultural & Jazz Festival 2019. Kita semua tahu bahwa tahun 2019, ditandai sebagai tahun politik. Tahun dimana menjadikan bangsa ini sering lupa akan kebudayaan dan seni karena semuanya pada terpana dengan politik yang kian memanas.  Kitapun terkooptasi habis dalam ujaran hate-speech[ujaran kebencian] dan hoax yang penuh muslihat di ruang publik antara lawan politik satu dan yang lainnya. Namun ternyata masih ada sekelompok anak muda seniman dan budayawan di Ternate, yang mau berkumpul dan menampilkan sesuatu yang lain diluar gonjang - ganjing politik yang destruktif. Mereka seakan tampil untuk memelihara nalar dan kewarasan berpikir kita melalui festival ini.

Memang kita kadang lupa, bahwa musik jazz itu sangat terkait erat dengan makna demokrasi yang sesungguhnya. Karena jazz menghadirkan kebebasan improvisasi dari berbagai orang dan berbagai instrumen, tanpa kehilangan ritme dan tempo serta harmoni. Jazz bukanlah lagu koor dimana semuanya harus searah dan sama, karena berbeda berarti kesalahan alias fals. Yang memaksakan kebersamaan adalah tindakan otoritarian, bukanlah demokrat sejati. Jika bisa kita bedakan mana demokrasi dan mana bukan dalam perspektif seni. Maka jazz sejatinya adalah sesuatu yang demokratis. Seandainya saja setiap elite politik negeri ini, dapat mengapresiasi musik jazz, saya yakin demokrasi pun akan berjalan mulus tanpa benturan kemanusiaan. Karena musik adalah makanan bathin yang akan memperkaya nurani dan memperhalus rasa. Tanpa kekayaan nurani dan kehalusan rasa, kita adalah “homo homini lupus, bellum omnium contra omnes” [manusia adalah serigala bagi yang lainnya, akan memakan satu sama lainnya], sebagaimana dikatakan Thomas Hobbes dalam Leviathan.Filsuf Aristoteles juga mengatakan bahwa manusia adalah mahluk zoon politicon, atau binatang politik.

Adapun jazz sendiri memang berkembang seiring irama blues, dari kaum hitam yang tertekan di Amerika. New Orleans adalah kota asalnya. Justru itu ia bukan musik gedongan atau milik kaum the have. Karena jazz, demikian juga blues, sebenarnya adalahsimbol perlawanan terhadap ketertindasan manusia, exploitation l’homme par l’homme tadinya. Ia adalah simbol kemerdekaan kemanusiaan yang sesungguhnya.

Dan Fort Oranje Jazz Festival di Ternate ini, adalah sebuah agenda yang monumental, seyogyanya dijadikan even tahunan bagi Kota Ternate dengan menampilkan warna sejarahnya yang sangat kaya tersebut. Kita tahu bahwa Ternate akan melaksanakan even ekspedisi rempah-rempah, sebagaimana telah dicanangkan Pemerintah Kota Ternate. Lalu akan dibentuk “East and West Cultural Center and Conservatorium” di Ternate yang digagas Dirjen Kebudayaan Profesor Hilman Farid. Bahkan teman-teman lain akan mendeklarasikan terbentuknya Komunitas Wallacea Ternateuntuk mengenang Alfred Russel Wallace, di samping Komunitas Jazz Ternate. Belum lagi Tidore akan menjadi tuan rumah bagi perayaan 500 tahun ‘Eksepdisi Magellan’ keliling dunia, kegiatan mana melibatkan 10,000 lebih pengunjung dari 23 kota dan 12 negara tersebut. Tentu semuanya bukan tidak mungkin membutuhkan suguhan kebudayaan dan seni yang kuat cita rasa peradabannya. Para partisipan Ekspedisi Magellan ini akan menetap selama 40 hari di Maluku Utara. Untuk itu, makna festival kali ini, bukan sekadar sebuah even kosong, karena akan mengantar Maluku Utara menjadi destinasi wisata yang layak dikunjungi oleh manca negara, disamping anak negerinya sendiri belajar mencapai cita rasa peradaban dunia di negerinya sendiri. Sebagaimana fungsi Ternate dari abad ke abad. Jogja misalnya memiliki Bromo Jazz Gunung setiap tahunnya pada setiap Juli dimana perhelatan dilaksanakan di alam terbuka. Bromo Jazz Gunung telah berlangsung sepuluh tahun. Demikian juga Bali, memiliki event jazz tahunan Ubud Village Jazz Festival, sebagai  pagelaran jazz bertaraf internasional setiap tahunnya pada setiap Agustus untuk menarik wisatawan dunia. Ini telah berlangsung sejak 2010. Mereka memadukan kearifan lokal dengan nuansa jazz. Kota Makassar pun tak mau kalah, menyelenggarakan Makassar Jazz Festival selama sembilan tahun terakhir di Benteng Rotterdam, Makassar. Pagelaran jazz ini dikaitkan dengan hari ulang tahun Kota Makassar pada setiap November. Kota-kota ini juga telah membentuk Komunitas Jazz masing-masing.

Pada Oranje Jazz Festival ini selain menampilkan grup lokal anak negeri, juga menghadirkan bintang tamu musisi jazz nasional seperti Otti Jamalus dan Yance Manusama serta drummer Deska Anugrah Samudra. Otti dan Yance sendiri adalah pemilik sekolah musik jazz di sebuah kawasan elite di Jakarta. Otti Jamalus memang berdarah Ternate. Adapun Yance Manusama, seorang bassist jazz terbaik Indonesia ini, orang tuanya gugur di Halmahera sebagai perwira TNI dalam peristiwa Permesta. Tidak mengherankan jika Kesatrian Pasukan Infateri TNI di Akediri, Jailolo, mengabadikan nama Kesatrian Jance Manusama. Nama tersebut mengabadikan nama Mayor TNI Jance Manusama yang gugur di Sungai Tiabo, Halmahera.

Sekitar tahun 2000-an, menonton jazz seperti Ireng  Maulana, Kiboud Maulana dan Yance Manusama, maupun Otti Jamalus, dan Karim Suweleh hanya bisa kita nikmati di klub jazz Jamz, awalnya di sudut Panglima Polim, Jakarta lalu berpindah ke kawasan Semanggi, Jakarta. Sayangnya klub ini sekarang telah bubar. Atau pada Executive Jazz Club The Black Cat, Kawasan Senayan.
Adapun perhelatan jazz akbar seperti Jakarta International Java Jazz Festival setahun sekali diadakan pada setiap awal Maret.Saya selalu mengikutinya sejak awal perhelatan akbar tersebut pada 2004. Beberapa waktu lalu, saya sempat bertandang ke KBRI Warsawa, Polandia dan bertemu Duta Besar Indonesia untuk Polandia, Peter Gontha, seorang pebisnis dan musisi jazz serta promotor Jamz sekaligus penggagas perhelatan akbarJava Jazz Festival. Melalui tangan dingin Peter Gontha, ia pernah mendatangkan Tania Maria dan James Brown pada Java Jazz pertama 2004 di Covention Hall Jakarta. Peter juga sempat menghadirkan Carlos Santana dan George Benson di arena Java Jazz, Kemayoran Jakarta. Saya menyampaikan bahwa jazz harus terus digalakkan demi terwujudnya demokrasi dan akal sehat. Sebaliknya tanpa jazz demokrasi pun akan redup bahkan mati suri, karena kita bakal kehilangan akal sehat. (*)