SUTOMO PAGUCI
Gunawan Laruhun - Tanpa bermaksud mendahului putusan
hakim, pemirsa dapat melihat banyak kejanggalan muncul dalam perjalanan kasus
"kopi sianida" di pengadilan. Kejanggalan-kejanggalan tsb
"bibitnya" sudah muncul sejak penyelidikan dan penyidikan kasus ini.
Memang tidak ada larangan dalam KUHAP untuk mengumbar proses penyelidikan dan
penyidikan ke hadapan media. Tetapi akan lebih baik apabila proses penyelidikan
dan penyidikan tidak terlalu diumbar ke media. Setidaknya sampai perkara
dinyatakan lengkap (P21), saat di mana semua barang bukti, alat bukti dan
tersangkanya sudah lengkap. Namanya juga penyelidikan. Sifatnya baru
mengumpulkan informasi, data dan keterangan. Segala informasi yang didapat dari
proses ini masih sangat mungkin berubah sewaktu-waktu, masih labil. Bayangkan
bila orang-orang yang dipanggil untuk dimintai keterangan di kepolisian sudah
diumbar besar-besaran. Ingat, publik tidak semuanya paham asas praduga tak
bersalah. Sejak awal pemeriksaan di kepolisian, prosesnya sangat mudah diakses
oleh media. Segala gerak-gerik Jessica menjadi berita. Dari Jessica
garuk-garuk, meletakan tas di meja, menolehkan muka dst dipersepsi sebagai
pelakunya. Padahal baru juga penyelidikan, belum penyidikan, artinya: waktu itu
Jessica belum ditetapkan sebagai tersangka. Belum juga penetapan tersangka,
Jessica sudah "diadili" oleh media. Lalu disusul penetapan tersangka
terhadap Jessica, sekalipun tidak ada alat bukti material yang langsung
menyebut Jessica pelakunya; tidak ada saksi yang melihat langsung Jessica
menaruh sianida ke kopi yang diminum Mirna. Ini pelajaran penting bagi jajaran
kepolisian. Sebaiknya proses penyelidikan tidak terlalu diumbar ke hadapan
media. Penyidikan pun begitu, jangan terlalu diumbar. Sabar. Nanti ada saatnya,
yaitu ketika persidangan di pengadilan, yang asasnya memang terbuka untuk umum.
Penyelidikan dan penyidikan itu kerja senyap. Bukan gembar-gembor. Terlalu
heboh di media bisa-bisa penjahat kabur duluan, terutama saat ia tahu arah
pemeriksaan mengarah padanya, atau si penjahatnya menghilangkan barang bukti.
Selain bahwa di tahap penyelidikan dan penyidikan segalanya bisa terjadi.
Sangat mungkin dengan berjalannya proses penyidikan ditemukan fakta baru bahwa
seorang tersangka bukanlah pelaku yang sebenarnya atau peristiwanya sendiri
bukanlah merupakan peristiwa pidana. Makanya KUHAP membuka peluang penghentian
penyidikan (SP3). Bagaimana lagi. Krishna Murti kelihatannya sangat menikmati
ekspos media. Ini terlihat dari tayangan media televisi, portal berita dan
media cetak. Juga terlihat dari status-statusnya di Facebook. Belakangan mulai
surut, apakah Krishna Murti ditegur oleh Kabareskrim baru? Wallahu'alam. Akan
sangat ideal dan baik sekali apabila penyelidik dan penyidik "menjaga
jarak" dari berbagai kepentingan, sekaligus menjaga emosi pribadi, terhadap
perkara yang ditanganinya. Jangan ada kepentingan lain kecuali mengungkap
kebenaran. Jangan ada pretensi seseorang yang dicurigai harus jadi tersangka,
tergantung pembuktian. Dengan sikap ini memperkecil peluang rekayasa kasus.
Kombes Krishna Murti terkesan arogan dan ngotot sekali. Sedari awal pengacara
Jessica, Yudi Wibowo Sukinto, sudah meminta dilakukan otopsi forensik terhadap
korban Wayan Mirna Salihin. Akan tetapi permintaan ini ditolak mentah-mentah
oleh Krishna Murti. "Memang siapa dia minta otopsi ulang? Takut?"
ujar Krishna Murti, Selasa (19/1/2016). Belakangan terungkap di persidangan,
penyebab kematian Mirna diragukan akibat sianida. Pasalnya, jumlah sianida di
lambung Mirna hanya 0,2 miligram, itupun dimungkinkan secara ilmiah produksi alamiah
tubuh manusia. Untuk dapat membunuh manusia jumlah sianida di lambung
setidaknya di atas 250 miligram per liter (ahli lain menyebut 1.000 miligram
per liter). Andai saja waktu itu dilakukan otopsi forensik (lengkap), pada
kesempatan pertama, maka kemungkinan besar akan terungkap penyebab pasti
kematian korban. Ini tidak. Penyidik hanya meminta pengambilan sampel jaringan
tubuh korban. Alasan tidak dilakukan otopsi karena tidak mendapat izin dari
keluarga korban. Padahal, menurut Pasal 133 dan 134 KUHAP, tidak harus ada izin
keluarga korban untuk melakukan otopsi forensik bila tahapan prosedur sudah
ditempuh. Dari sini kelihatan penyidik tidak profesional. Namun diingatkan
pengacara malah tidak mau. Kombes Krishna Murti bahkan sampai mengusir pengacara
dari ruang pemeriksaan saat Jessica dimintai keterangan. Alasan Krishna, tidak
ada kewajiban pengacara mendampingi saksi. Catat, tidak ada kewajiban bukan
berarti tidak boleh. Tidak ada larangan hukum bagi siapapun untuk didampingi
pengacara, dalam kesempatan apapun, apalagi dalam momen pemeriksaan di
kepolisian. Terlihat bagaimana penyidik perkara ini, khususnya Kombespol
Krishna Murti, memposisikan advokat bukannya sebagai mitra sejajar sesama
penegak hukum, yang sama-sama mencari kebenaran materil dalam suatu perkara
pidana, melainkan sebagai musuh. Tanpa kehadiran pengacara, keberimbangan dalam
proses hukum pidana menjadi terganggu. Padahal keberimbangan demikian sangat
penting untuk menghindari apa yang disebut "misscariage of justice",
kegagalan dalam proses penegakan hukum.(*)
SUTOMO PAGUCI
Sumber : http://www.kompasiana.com/
SUTOMO PAGUCI
Selengkapnya : file:///C:/Users/Gunawan/Downloads/Kasus%20Jessica,%20Pelajaran%20bagi%20Krishna%20Murti%20dan%20Kepolisian%20-%20KOMPASIANA.com.htm
Selengkapnya : file:///C:/Users/Gunawan/Downloads/Kasus%20Jessica,%20Pelajaran%20bagi%20Krishna%20Murti%20dan%20Kepolisian%20-%20KOMPASIANA.com.htm
SUTOMO PAGUCI
Selengkapnya : file:///C:/Users/Gunawan/Downloads/Kasus%20Jessica,%20Pelajaran%20bagi%20Krishna%20Murti%20dan%20Kepolisian%20-%20KOMPASIANA.com.htm
Selengkapnya : file:///C:/Users/Gunawan/Downloads/Kasus%20Jessica,%20Pelajaran%20bagi%20Krishna%20Murti%20dan%20Kepolisian%20-%20KOMPASIANA.com.htm
Tanpa bermaksud
mendahului putusan hakim, pemirsa dapat melihat banyak kejanggalan
muncul dalam perjalanan kasus "kopi sianida" di pengadilan.
Kejanggalan-kejanggalan tsb "bibitnya" sudah muncul sejak penyelidikan
dan penyidikan kasus ini.
Memang tidak ada larangan dalam KUHAP untuk mengumbar proses
penyelidikan dan penyidikan ke hadapan media. Tetapi akan lebih baik
apabila proses penyelidikan dan penyidikan tidak terlalu diumbar ke
media. Setidaknya sampai perkara dinyatakan lengkap (P21), saat di mana
semua barang bukti, alat bukti dan tersangkanya sudah lengkap.
Namanya juga penyelidikan. Sifatnya baru mengumpulkan informasi, data
dan keterangan. Segala informasi yang didapat dari proses ini masih
sangat mungkin berubah sewaktu-waktu, masih labil.
Bayangkan bila orang-orang yang dipanggil untuk dimintai keterangan di
kepolisian sudah diumbar besar-besaran. Ingat, publik tidak semuanya
paham asas praduga tak bersalah.
Sejak awal pemeriksaan di kepolisian, prosesnya sangat mudah diakses
oleh media. Segala gerak-gerik Jessica menjadi berita. Dari Jessica
garuk-garuk, meletakan tas di meja, menolehkan muka dst dipersepsi
sebagai pelakunya. Padahal baru juga penyelidikan, belum penyidikan,
artinya: waktu itu Jessica belum ditetapkan sebagai tersangka.
Belum juga penetapan tersangka, Jessica sudah "diadili" oleh media. Lalu
disusul penetapan tersangka terhadap Jessica, sekalipun tidak ada alat
bukti material yang langsung menyebut Jessica pelakunya; tidak ada saksi
yang melihat langsung Jessica menaruh sianida ke kopi yang diminum
Mirna.
Ini pelajaran penting bagi jajaran kepolisian. Sebaiknya proses
penyelidikan tidak terlalu diumbar ke hadapan media. Penyidikan pun
begitu, jangan terlalu diumbar. Sabar. Nanti ada saatnya, yaitu ketika
persidangan di pengadilan, yang asasnya memang terbuka untuk umum.
Penyelidikan dan penyidikan itu kerja senyap. Bukan gembar-gembor.
Terlalu heboh di media bisa-bisa penjahat kabur duluan, terutama saat ia
tahu arah pemeriksaan mengarah padanya, atau si penjahatnya
menghilangkan barang bukti.
Selain bahwa di tahap penyelidikan dan penyidikan segalanya bisa
terjadi. Sangat mungkin dengan berjalannya proses penyidikan ditemukan
fakta baru bahwa seorang tersangka bukanlah pelaku yang sebenarnya atau
peristiwanya sendiri bukanlah merupakan peristiwa pidana. Makanya KUHAP
membuka peluang penghentian penyidikan (SP3).
Bagaimana lagi. Krishna Murti kelihatannya sangat menikmati ekspos
media. Ini terlihat dari tayangan media televisi, portal berita dan
media cetak. Juga terlihat dari status-statusnya di Facebook. Belakangan
mulai surut, apakah Krishna Murti ditegur oleh Kabareskrim baru?
Wallahu'alam.
Akan sangat ideal dan baik sekali apabila penyelidik dan penyidik
"menjaga jarak" dari berbagai kepentingan, sekaligus menjaga emosi
pribadi, terhadap perkara yang ditanganinya. Jangan ada kepentingan lain
kecuali mengungkap kebenaran. Jangan ada pretensi seseorang yang
dicurigai harus jadi tersangka, tergantung pembuktian. Dengan sikap ini
memperkecil peluang rekayasa kasus.
Kombes Krishna Murti terkesan arogan dan ngotot sekali. Sedari awal
pengacara Jessica, Yudi Wibowo Sukinto, sudah meminta dilakukan otopsi
forensik terhadap korban Wayan Mirna Salihin. Akan tetapi permintaan ini
ditolak mentah-mentah oleh Krishna Murti. "Memang siapa dia minta
otopsi ulang? Takut?" ujar Krishna Murti, Selasa (19/1/2016).
Belakangan terungkap di persidangan, penyebab kematian Mirna diragukan
akibat sianida. Pasalnya, jumlah sianida di lambung Mirna hanya 0,2
miligram, itupun dimungkinkan secara ilmiah produksi alamiah tubuh
manusia. Untuk dapat membunuh manusia jumlah sianida di lambung
setidaknya di atas 250 miligram per liter (ahli lain menyebut 1.000
miligram per liter).
Andai saja waktu itu dilakukan otopsi forensik (lengkap), pada
kesempatan pertama, maka kemungkinan besar akan terungkap penyebab pasti
kematian korban. Ini tidak. Penyidik hanya meminta pengambilan sampel
jaringan tubuh korban.
Alasan tidak dilakukan otopsi karena tidak mendapat izin dari keluarga
korban. Padahal, menurut Pasal 133 dan 134 KUHAP, tidak harus ada izin
keluarga korban untuk melakukan otopsi forensik bila tahapan prosedur
sudah ditempuh. Dari sini kelihatan penyidik tidak profesional. Namun
diingatkan pengacara malah tidak mau.
Kombes Krishna Murti bahkan sampai mengusir pengacara dari ruang
pemeriksaan saat Jessica dimintai keterangan. Alasan Krishna, tidak ada
kewajiban pengacara mendampingi saksi. Catat, tidak ada kewajiban bukan
berarti tidak boleh. Tidak ada larangan hukum bagi siapapun untuk
didampingi pengacara, dalam kesempatan apapun, apalagi dalam momen
pemeriksaan di kepolisian.
Terlihat bagaimana penyidik perkara ini, khususnya Kombespol Krishna
Murti, memposisikan advokat bukannya sebagai mitra sejajar sesama
penegak hukum, yang sama-sama mencari kebenaran materil dalam suatu
perkara pidana, melainkan sebagai musuh.
Tanpa kehadiran pengacara, keberimbangan dalam proses hukum pidana
menjadi terganggu. Padahal keberimbangan demikian sangat penting untuk
menghindari apa yang disebut "misscariage of justice", kegagalan dalam
proses penegakan hukum.(*)
Selengkapnya : file:///C:/Users/Gunawan/Downloads/Kasus%20Jessica,%20Pelajaran%20bagi%20Krishna%20Murti%20dan%20Kepolisian%20-%20KOMPASIANA.com.htm
Selengkapnya : file:///C:/Users/Gunawan/Downloads/Kasus%20Jessica,%20Pelajaran%20bagi%20Krishna%20Murti%20dan%20Kepolisian%20-%20KOMPASIANA.com.htm
Tanpa bermaksud
mendahului putusan hakim, pemirsa dapat melihat banyak kejanggalan
muncul dalam perjalanan kasus "kopi sianida" di pengadilan.
Kejanggalan-kejanggalan tsb "bibitnya" sudah muncul sejak penyelidikan
dan penyidikan kasus ini.
Memang tidak ada larangan dalam KUHAP untuk mengumbar proses
penyelidikan dan penyidikan ke hadapan media. Tetapi akan lebih baik
apabila proses penyelidikan dan penyidikan tidak terlalu diumbar ke
media. Setidaknya sampai perkara dinyatakan lengkap (P21), saat di mana
semua barang bukti, alat bukti dan tersangkanya sudah lengkap.
Namanya juga penyelidikan. Sifatnya baru mengumpulkan informasi, data
dan keterangan. Segala informasi yang didapat dari proses ini masih
sangat mungkin berubah sewaktu-waktu, masih labil.
Bayangkan bila orang-orang yang dipanggil untuk dimintai keterangan di
kepolisian sudah diumbar besar-besaran. Ingat, publik tidak semuanya
paham asas praduga tak bersalah.
Sejak awal pemeriksaan di kepolisian, prosesnya sangat mudah diakses
oleh media. Segala gerak-gerik Jessica menjadi berita. Dari Jessica
garuk-garuk, meletakan tas di meja, menolehkan muka dst dipersepsi
sebagai pelakunya. Padahal baru juga penyelidikan, belum penyidikan,
artinya: waktu itu Jessica belum ditetapkan sebagai tersangka.
Belum juga penetapan tersangka, Jessica sudah "diadili" oleh media. Lalu
disusul penetapan tersangka terhadap Jessica, sekalipun tidak ada alat
bukti material yang langsung menyebut Jessica pelakunya; tidak ada saksi
yang melihat langsung Jessica menaruh sianida ke kopi yang diminum
Mirna.
Ini pelajaran penting bagi jajaran kepolisian. Sebaiknya proses
penyelidikan tidak terlalu diumbar ke hadapan media. Penyidikan pun
begitu, jangan terlalu diumbar. Sabar. Nanti ada saatnya, yaitu ketika
persidangan di pengadilan, yang asasnya memang terbuka untuk umum.
Penyelidikan dan penyidikan itu kerja senyap. Bukan gembar-gembor.
Terlalu heboh di media bisa-bisa penjahat kabur duluan, terutama saat ia
tahu arah pemeriksaan mengarah padanya, atau si penjahatnya
menghilangkan barang bukti.
Selain bahwa di tahap penyelidikan dan penyidikan segalanya bisa
terjadi. Sangat mungkin dengan berjalannya proses penyidikan ditemukan
fakta baru bahwa seorang tersangka bukanlah pelaku yang sebenarnya atau
peristiwanya sendiri bukanlah merupakan peristiwa pidana. Makanya KUHAP
membuka peluang penghentian penyidikan (SP3).
Bagaimana lagi. Krishna Murti kelihatannya sangat menikmati ekspos
media. Ini terlihat dari tayangan media televisi, portal berita dan
media cetak. Juga terlihat dari status-statusnya di Facebook. Belakangan
mulai surut, apakah Krishna Murti ditegur oleh Kabareskrim baru?
Wallahu'alam.
Akan sangat ideal dan baik sekali apabila penyelidik dan penyidik
"menjaga jarak" dari berbagai kepentingan, sekaligus menjaga emosi
pribadi, terhadap perkara yang ditanganinya. Jangan ada kepentingan lain
kecuali mengungkap kebenaran. Jangan ada pretensi seseorang yang
dicurigai harus jadi tersangka, tergantung pembuktian. Dengan sikap ini
memperkecil peluang rekayasa kasus.
Kombes Krishna Murti terkesan arogan dan ngotot sekali. Sedari awal
pengacara Jessica, Yudi Wibowo Sukinto, sudah meminta dilakukan otopsi
forensik terhadap korban Wayan Mirna Salihin. Akan tetapi permintaan ini
ditolak mentah-mentah oleh Krishna Murti. "Memang siapa dia minta
otopsi ulang? Takut?" ujar Krishna Murti, Selasa (19/1/2016).
Belakangan terungkap di persidangan, penyebab kematian Mirna diragukan
akibat sianida. Pasalnya, jumlah sianida di lambung Mirna hanya 0,2
miligram, itupun dimungkinkan secara ilmiah produksi alamiah tubuh
manusia. Untuk dapat membunuh manusia jumlah sianida di lambung
setidaknya di atas 250 miligram per liter (ahli lain menyebut 1.000
miligram per liter).
Andai saja waktu itu dilakukan otopsi forensik (lengkap), pada
kesempatan pertama, maka kemungkinan besar akan terungkap penyebab pasti
kematian korban. Ini tidak. Penyidik hanya meminta pengambilan sampel
jaringan tubuh korban.
Alasan tidak dilakukan otopsi karena tidak mendapat izin dari keluarga
korban. Padahal, menurut Pasal 133 dan 134 KUHAP, tidak harus ada izin
keluarga korban untuk melakukan otopsi forensik bila tahapan prosedur
sudah ditempuh. Dari sini kelihatan penyidik tidak profesional. Namun
diingatkan pengacara malah tidak mau.
Kombes Krishna Murti bahkan sampai mengusir pengacara dari ruang
pemeriksaan saat Jessica dimintai keterangan. Alasan Krishna, tidak ada
kewajiban pengacara mendampingi saksi. Catat, tidak ada kewajiban bukan
berarti tidak boleh. Tidak ada larangan hukum bagi siapapun untuk
didampingi pengacara, dalam kesempatan apapun, apalagi dalam momen
pemeriksaan di kepolisian.
Terlihat bagaimana penyidik perkara ini, khususnya Kombespol Krishna
Murti, memposisikan advokat bukannya sebagai mitra sejajar sesama
penegak hukum, yang sama-sama mencari kebenaran materil dalam suatu
perkara pidana, melainkan sebagai musuh.
Tanpa kehadiran pengacara, keberimbangan dalam proses hukum pidana
menjadi terganggu. Padahal keberimbangan demikian sangat penting untuk
menghindari apa yang disebut "misscariage of justice", kegagalan dalam
proses penegakan hukum.(*)
Selengkapnya : file:///C:/Users/Gunawan/Downloads/Kasus%20Jessica,%20Pelajaran%20bagi%20Krishna%20Murti%20dan%20Kepolisian%20-%20KOMPASIANA.com.htm
Selengkapnya : file:///C:/Users/Gunawan/Downloads/Kasus%20Jessica,%20Pelajaran%20bagi%20Krishna%20Murti%20dan%20Kepolisian%20-%20KOMPASIANA.com.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar