Senin, 19 September 2016

KASUS JESSICA ADALAH PELAJARAN BAGI KRISHNA MURTI DAN KEPOLISIAN

SUTOMO PAGUCI

 Gunawan Laruhun - Tanpa bermaksud mendahului putusan hakim, pemirsa dapat melihat banyak kejanggalan muncul dalam perjalanan kasus "kopi sianida" di pengadilan. Kejanggalan-kejanggalan tsb "bibitnya" sudah muncul sejak penyelidikan dan penyidikan kasus ini. Memang tidak ada larangan dalam KUHAP untuk mengumbar proses penyelidikan dan penyidikan ke hadapan media. Tetapi akan lebih baik apabila proses penyelidikan dan penyidikan tidak terlalu diumbar ke media. Setidaknya sampai perkara dinyatakan lengkap (P21), saat di mana semua barang bukti, alat bukti dan tersangkanya sudah lengkap. Namanya juga penyelidikan. Sifatnya baru mengumpulkan informasi, data dan keterangan. Segala informasi yang didapat dari proses ini masih sangat mungkin berubah sewaktu-waktu, masih labil. Bayangkan bila orang-orang yang dipanggil untuk dimintai keterangan di kepolisian sudah diumbar besar-besaran. Ingat, publik tidak semuanya paham asas praduga tak bersalah. Sejak awal pemeriksaan di kepolisian, prosesnya sangat mudah diakses oleh media. Segala gerak-gerik Jessica menjadi berita. Dari Jessica garuk-garuk, meletakan tas di meja, menolehkan muka dst dipersepsi sebagai pelakunya. Padahal baru juga penyelidikan, belum penyidikan, artinya: waktu itu Jessica belum ditetapkan sebagai tersangka. Belum juga penetapan tersangka, Jessica sudah "diadili" oleh media. Lalu disusul penetapan tersangka terhadap Jessica, sekalipun tidak ada alat bukti material yang langsung menyebut Jessica pelakunya; tidak ada saksi yang melihat langsung Jessica menaruh sianida ke kopi yang diminum Mirna. Ini pelajaran penting bagi jajaran kepolisian. Sebaiknya proses penyelidikan tidak terlalu diumbar ke hadapan media. Penyidikan pun begitu, jangan terlalu diumbar. Sabar. Nanti ada saatnya, yaitu ketika persidangan di pengadilan, yang asasnya memang terbuka untuk umum. Penyelidikan dan penyidikan itu kerja senyap. Bukan gembar-gembor. Terlalu heboh di media bisa-bisa penjahat kabur duluan, terutama saat ia tahu arah pemeriksaan mengarah padanya, atau si penjahatnya menghilangkan barang bukti. Selain bahwa di tahap penyelidikan dan penyidikan segalanya bisa terjadi. Sangat mungkin dengan berjalannya proses penyidikan ditemukan fakta baru bahwa seorang tersangka bukanlah pelaku yang sebenarnya atau peristiwanya sendiri bukanlah merupakan peristiwa pidana. Makanya KUHAP membuka peluang penghentian penyidikan (SP3). Bagaimana lagi. Krishna Murti kelihatannya sangat menikmati ekspos media. Ini terlihat dari tayangan media televisi, portal berita dan media cetak. Juga terlihat dari status-statusnya di Facebook. Belakangan mulai surut, apakah Krishna Murti ditegur oleh Kabareskrim baru? Wallahu'alam. Akan sangat ideal dan baik sekali apabila penyelidik dan penyidik "menjaga jarak" dari berbagai kepentingan, sekaligus menjaga emosi pribadi, terhadap perkara yang ditanganinya. Jangan ada kepentingan lain kecuali mengungkap kebenaran. Jangan ada pretensi seseorang yang dicurigai harus jadi tersangka, tergantung pembuktian. Dengan sikap ini memperkecil peluang rekayasa kasus. Kombes Krishna Murti terkesan arogan dan ngotot sekali. Sedari awal pengacara Jessica, Yudi Wibowo Sukinto, sudah meminta dilakukan otopsi forensik terhadap korban Wayan Mirna Salihin. Akan tetapi permintaan ini ditolak mentah-mentah oleh Krishna Murti. "Memang siapa dia minta otopsi ulang? Takut?" ujar Krishna Murti, Selasa (19/1/2016). Belakangan terungkap di persidangan, penyebab kematian Mirna diragukan akibat sianida. Pasalnya, jumlah sianida di lambung Mirna hanya 0,2 miligram, itupun dimungkinkan secara ilmiah produksi alamiah tubuh manusia. Untuk dapat membunuh manusia jumlah sianida di lambung setidaknya di atas 250 miligram per liter (ahli lain menyebut 1.000 miligram per liter). Andai saja waktu itu dilakukan otopsi forensik (lengkap), pada kesempatan pertama, maka kemungkinan besar akan terungkap penyebab pasti kematian korban. Ini tidak. Penyidik hanya meminta pengambilan sampel jaringan tubuh korban. Alasan tidak dilakukan otopsi karena tidak mendapat izin dari keluarga korban. Padahal, menurut Pasal 133 dan 134 KUHAP, tidak harus ada izin keluarga korban untuk melakukan otopsi forensik bila tahapan prosedur sudah ditempuh. Dari sini kelihatan penyidik tidak profesional. Namun diingatkan pengacara malah tidak mau. Kombes Krishna Murti bahkan sampai mengusir pengacara dari ruang pemeriksaan saat Jessica dimintai keterangan. Alasan Krishna, tidak ada kewajiban pengacara mendampingi saksi. Catat, tidak ada kewajiban bukan berarti tidak boleh. Tidak ada larangan hukum bagi siapapun untuk didampingi pengacara, dalam kesempatan apapun, apalagi dalam momen pemeriksaan di kepolisian. Terlihat bagaimana penyidik perkara ini, khususnya Kombespol Krishna Murti, memposisikan advokat bukannya sebagai mitra sejajar sesama penegak hukum, yang sama-sama mencari kebenaran materil dalam suatu perkara pidana, melainkan sebagai musuh. Tanpa kehadiran pengacara, keberimbangan dalam proses hukum pidana menjadi terganggu. Padahal keberimbangan demikian sangat penting untuk menghindari apa yang disebut "misscariage of justice", kegagalan dalam proses penegakan hukum.(*)

SUTOMO PAGUCI
SUTOMO PAGUCI

Selengkapnya : file:///C:/Users/Gunawan/Downloads/Kasus%20Jessica,%20Pelajaran%20bagi%20Krishna%20Murti%20dan%20Kepolisian%20-%20KOMPASIANA.com.htm
SUTOMO PAGUCI

Selengkapnya : file:///C:/Users/Gunawan/Downloads/Kasus%20Jessica,%20Pelajaran%20bagi%20Krishna%20Murti%20dan%20Kepolisian%20-%20KOMPASIANA.com.htm
Tanpa bermaksud mendahului putusan hakim, pemirsa dapat melihat banyak kejanggalan muncul dalam perjalanan kasus "kopi sianida" di pengadilan. Kejanggalan-kejanggalan tsb "bibitnya" sudah muncul sejak penyelidikan dan penyidikan kasus ini. Memang tidak ada larangan dalam KUHAP untuk mengumbar proses penyelidikan dan penyidikan ke hadapan media. Tetapi akan lebih baik apabila proses penyelidikan dan penyidikan tidak terlalu diumbar ke media. Setidaknya sampai perkara dinyatakan lengkap (P21), saat di mana semua barang bukti, alat bukti dan tersangkanya sudah lengkap. Namanya juga penyelidikan. Sifatnya baru mengumpulkan informasi, data dan keterangan. Segala informasi yang didapat dari proses ini masih sangat mungkin berubah sewaktu-waktu, masih labil. Bayangkan bila orang-orang yang dipanggil untuk dimintai keterangan di kepolisian sudah diumbar besar-besaran. Ingat, publik tidak semuanya paham asas praduga tak bersalah. Sejak awal pemeriksaan di kepolisian, prosesnya sangat mudah diakses oleh media. Segala gerak-gerik Jessica menjadi berita. Dari Jessica garuk-garuk, meletakan tas di meja, menolehkan muka dst dipersepsi sebagai pelakunya. Padahal baru juga penyelidikan, belum penyidikan, artinya: waktu itu Jessica belum ditetapkan sebagai tersangka. Belum juga penetapan tersangka, Jessica sudah "diadili" oleh media. Lalu disusul penetapan tersangka terhadap Jessica, sekalipun tidak ada alat bukti material yang langsung menyebut Jessica pelakunya; tidak ada saksi yang melihat langsung Jessica menaruh sianida ke kopi yang diminum Mirna. Ini pelajaran penting bagi jajaran kepolisian. Sebaiknya proses penyelidikan tidak terlalu diumbar ke hadapan media. Penyidikan pun begitu, jangan terlalu diumbar. Sabar. Nanti ada saatnya, yaitu ketika persidangan di pengadilan, yang asasnya memang terbuka untuk umum. Penyelidikan dan penyidikan itu kerja senyap. Bukan gembar-gembor. Terlalu heboh di media bisa-bisa penjahat kabur duluan, terutama saat ia tahu arah pemeriksaan mengarah padanya, atau si penjahatnya menghilangkan barang bukti. Selain bahwa di tahap penyelidikan dan penyidikan segalanya bisa terjadi. Sangat mungkin dengan berjalannya proses penyidikan ditemukan fakta baru bahwa seorang tersangka bukanlah pelaku yang sebenarnya atau peristiwanya sendiri bukanlah merupakan peristiwa pidana. Makanya KUHAP membuka peluang penghentian penyidikan (SP3). Bagaimana lagi. Krishna Murti kelihatannya sangat menikmati ekspos media. Ini terlihat dari tayangan media televisi, portal berita dan media cetak. Juga terlihat dari status-statusnya di Facebook. Belakangan mulai surut, apakah Krishna Murti ditegur oleh Kabareskrim baru? Wallahu'alam. Akan sangat ideal dan baik sekali apabila penyelidik dan penyidik "menjaga jarak" dari berbagai kepentingan, sekaligus menjaga emosi pribadi, terhadap perkara yang ditanganinya. Jangan ada kepentingan lain kecuali mengungkap kebenaran. Jangan ada pretensi seseorang yang dicurigai harus jadi tersangka, tergantung pembuktian. Dengan sikap ini memperkecil peluang rekayasa kasus. Kombes Krishna Murti terkesan arogan dan ngotot sekali. Sedari awal pengacara Jessica, Yudi Wibowo Sukinto, sudah meminta dilakukan otopsi forensik terhadap korban Wayan Mirna Salihin. Akan tetapi permintaan ini ditolak mentah-mentah oleh Krishna Murti. "Memang siapa dia minta otopsi ulang? Takut?" ujar Krishna Murti, Selasa (19/1/2016). Belakangan terungkap di persidangan, penyebab kematian Mirna diragukan akibat sianida. Pasalnya, jumlah sianida di lambung Mirna hanya 0,2 miligram, itupun dimungkinkan secara ilmiah produksi alamiah tubuh manusia. Untuk dapat membunuh manusia jumlah sianida di lambung setidaknya di atas 250 miligram per liter (ahli lain menyebut 1.000 miligram per liter). Andai saja waktu itu dilakukan otopsi forensik (lengkap), pada kesempatan pertama, maka kemungkinan besar akan terungkap penyebab pasti kematian korban. Ini tidak. Penyidik hanya meminta pengambilan sampel jaringan tubuh korban. Alasan tidak dilakukan otopsi karena tidak mendapat izin dari keluarga korban. Padahal, menurut Pasal 133 dan 134 KUHAP, tidak harus ada izin keluarga korban untuk melakukan otopsi forensik bila tahapan prosedur sudah ditempuh. Dari sini kelihatan penyidik tidak profesional. Namun diingatkan pengacara malah tidak mau. Kombes Krishna Murti bahkan sampai mengusir pengacara dari ruang pemeriksaan saat Jessica dimintai keterangan. Alasan Krishna, tidak ada kewajiban pengacara mendampingi saksi. Catat, tidak ada kewajiban bukan berarti tidak boleh. Tidak ada larangan hukum bagi siapapun untuk didampingi pengacara, dalam kesempatan apapun, apalagi dalam momen pemeriksaan di kepolisian. Terlihat bagaimana penyidik perkara ini, khususnya Kombespol Krishna Murti, memposisikan advokat bukannya sebagai mitra sejajar sesama penegak hukum, yang sama-sama mencari kebenaran materil dalam suatu perkara pidana, melainkan sebagai musuh. Tanpa kehadiran pengacara, keberimbangan dalam proses hukum pidana menjadi terganggu. Padahal keberimbangan demikian sangat penting untuk menghindari apa yang disebut "misscariage of justice", kegagalan dalam proses penegakan hukum.(*)

Selengkapnya : file:///C:/Users/Gunawan/Downloads/Kasus%20Jessica,%20Pelajaran%20bagi%20Krishna%20Murti%20dan%20Kepolisian%20-%20KOMPASIANA.com.htm
Tanpa bermaksud mendahului putusan hakim, pemirsa dapat melihat banyak kejanggalan muncul dalam perjalanan kasus "kopi sianida" di pengadilan. Kejanggalan-kejanggalan tsb "bibitnya" sudah muncul sejak penyelidikan dan penyidikan kasus ini. Memang tidak ada larangan dalam KUHAP untuk mengumbar proses penyelidikan dan penyidikan ke hadapan media. Tetapi akan lebih baik apabila proses penyelidikan dan penyidikan tidak terlalu diumbar ke media. Setidaknya sampai perkara dinyatakan lengkap (P21), saat di mana semua barang bukti, alat bukti dan tersangkanya sudah lengkap. Namanya juga penyelidikan. Sifatnya baru mengumpulkan informasi, data dan keterangan. Segala informasi yang didapat dari proses ini masih sangat mungkin berubah sewaktu-waktu, masih labil. Bayangkan bila orang-orang yang dipanggil untuk dimintai keterangan di kepolisian sudah diumbar besar-besaran. Ingat, publik tidak semuanya paham asas praduga tak bersalah. Sejak awal pemeriksaan di kepolisian, prosesnya sangat mudah diakses oleh media. Segala gerak-gerik Jessica menjadi berita. Dari Jessica garuk-garuk, meletakan tas di meja, menolehkan muka dst dipersepsi sebagai pelakunya. Padahal baru juga penyelidikan, belum penyidikan, artinya: waktu itu Jessica belum ditetapkan sebagai tersangka. Belum juga penetapan tersangka, Jessica sudah "diadili" oleh media. Lalu disusul penetapan tersangka terhadap Jessica, sekalipun tidak ada alat bukti material yang langsung menyebut Jessica pelakunya; tidak ada saksi yang melihat langsung Jessica menaruh sianida ke kopi yang diminum Mirna. Ini pelajaran penting bagi jajaran kepolisian. Sebaiknya proses penyelidikan tidak terlalu diumbar ke hadapan media. Penyidikan pun begitu, jangan terlalu diumbar. Sabar. Nanti ada saatnya, yaitu ketika persidangan di pengadilan, yang asasnya memang terbuka untuk umum. Penyelidikan dan penyidikan itu kerja senyap. Bukan gembar-gembor. Terlalu heboh di media bisa-bisa penjahat kabur duluan, terutama saat ia tahu arah pemeriksaan mengarah padanya, atau si penjahatnya menghilangkan barang bukti. Selain bahwa di tahap penyelidikan dan penyidikan segalanya bisa terjadi. Sangat mungkin dengan berjalannya proses penyidikan ditemukan fakta baru bahwa seorang tersangka bukanlah pelaku yang sebenarnya atau peristiwanya sendiri bukanlah merupakan peristiwa pidana. Makanya KUHAP membuka peluang penghentian penyidikan (SP3). Bagaimana lagi. Krishna Murti kelihatannya sangat menikmati ekspos media. Ini terlihat dari tayangan media televisi, portal berita dan media cetak. Juga terlihat dari status-statusnya di Facebook. Belakangan mulai surut, apakah Krishna Murti ditegur oleh Kabareskrim baru? Wallahu'alam. Akan sangat ideal dan baik sekali apabila penyelidik dan penyidik "menjaga jarak" dari berbagai kepentingan, sekaligus menjaga emosi pribadi, terhadap perkara yang ditanganinya. Jangan ada kepentingan lain kecuali mengungkap kebenaran. Jangan ada pretensi seseorang yang dicurigai harus jadi tersangka, tergantung pembuktian. Dengan sikap ini memperkecil peluang rekayasa kasus. Kombes Krishna Murti terkesan arogan dan ngotot sekali. Sedari awal pengacara Jessica, Yudi Wibowo Sukinto, sudah meminta dilakukan otopsi forensik terhadap korban Wayan Mirna Salihin. Akan tetapi permintaan ini ditolak mentah-mentah oleh Krishna Murti. "Memang siapa dia minta otopsi ulang? Takut?" ujar Krishna Murti, Selasa (19/1/2016). Belakangan terungkap di persidangan, penyebab kematian Mirna diragukan akibat sianida. Pasalnya, jumlah sianida di lambung Mirna hanya 0,2 miligram, itupun dimungkinkan secara ilmiah produksi alamiah tubuh manusia. Untuk dapat membunuh manusia jumlah sianida di lambung setidaknya di atas 250 miligram per liter (ahli lain menyebut 1.000 miligram per liter). Andai saja waktu itu dilakukan otopsi forensik (lengkap), pada kesempatan pertama, maka kemungkinan besar akan terungkap penyebab pasti kematian korban. Ini tidak. Penyidik hanya meminta pengambilan sampel jaringan tubuh korban. Alasan tidak dilakukan otopsi karena tidak mendapat izin dari keluarga korban. Padahal, menurut Pasal 133 dan 134 KUHAP, tidak harus ada izin keluarga korban untuk melakukan otopsi forensik bila tahapan prosedur sudah ditempuh. Dari sini kelihatan penyidik tidak profesional. Namun diingatkan pengacara malah tidak mau. Kombes Krishna Murti bahkan sampai mengusir pengacara dari ruang pemeriksaan saat Jessica dimintai keterangan. Alasan Krishna, tidak ada kewajiban pengacara mendampingi saksi. Catat, tidak ada kewajiban bukan berarti tidak boleh. Tidak ada larangan hukum bagi siapapun untuk didampingi pengacara, dalam kesempatan apapun, apalagi dalam momen pemeriksaan di kepolisian. Terlihat bagaimana penyidik perkara ini, khususnya Kombespol Krishna Murti, memposisikan advokat bukannya sebagai mitra sejajar sesama penegak hukum, yang sama-sama mencari kebenaran materil dalam suatu perkara pidana, melainkan sebagai musuh. Tanpa kehadiran pengacara, keberimbangan dalam proses hukum pidana menjadi terganggu. Padahal keberimbangan demikian sangat penting untuk menghindari apa yang disebut "misscariage of justice", kegagalan dalam proses penegakan hukum.(*)

Selengkapnya : file:///C:/Users/Gunawan/Downloads/Kasus%20Jessica,%20Pelajaran%20bagi%20Krishna%20Murti%20dan%20Kepolisian%20-%20KOMPASIANA.com.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar