Selasa, 15 November 2016

Maria Walanda Maramis, Pahlawan Nasional Asal Tanah Minahasa-Sulawesi Utara



Monumen Pahlawan Maria Walanda Maramis di Desa Maumbi, Minahasa Utara, Sulawesi Utara.
Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.012/TK/Tahun 1969 tanggal 20 Mei 1969, Pemerintah RI menganugerahi Ibu Maria Yosephine Catharina Walanda Maramis gelar Pahlawan Pergerakan Nasional karena jasa-jasanya untuk mengembangkan harkat dan martabat Wanita Indonesia pada permulaan abad ke-20.

Maria Kecil yang Yatim Piatu


Desa Kema, Minahasa tempo doeloe
Maria Yosephine Catharina Maramis dilahirkan pada tanggal 1 Desember 1872 di Kema, kota pelabuhan kecil di Minahasa, Sulawesi Utara.  la adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Dua orang kakaknya bernama Aantje Maramis dan Andries Alexander Maramis. Ayahnya seorang pedagang bernama Maramis dan ibunya bernama Sarah Rotinsulu. Tidak lama Maria mengenyam kasih sayang kedua orang tuanya. Mereka meninggal secara berturut-turut sebagai akibat penyakit kolera yang melanda daerah Minahasa dan sekitarnya. Waktu itu Maria baru berusia 6 tahun. Setelah orang tuanya meninggai dunia, Maria dan kedua saudaranya diasuh oleh Om (paman) Ezam Rotinsulu di Airmadidi. Ketiga anak yatim piatu itu memperoleh pendidikan Sekolah Dasar di kota kecil itu.

Maria Maramis Tidak Puas dengan Pendidikan Wanita Minahasa

Pada masa itu anak-anak perempuan tidak diizinkan bersekolah di sekolah yang lebih tinggi dari Sekolah Dasar. Maria dan Aantje terpaksa mengalami keadaan demikian, sedangkan Andries melanjutkan sekolah ke Hoofden School di Tondano. Perbedaan kesempatan untuk bersekolah antara anak laki-laki dan anak perempuan itu kemudian menggelisahkan Maria Maramis. Ia tidak merasa puas hanya memperoleh pendidikan SD.
Maria seorang yang haus pengetahuan. Sesungguhnya ia ingin memasuki Meisjes-school (sekolah untuk anak-anak perempuan Belanda) di Tondano. Di Meisjes-school anak-anak mendapat pelajaran seperti di Europese Lagere School (ELS), termasuk pelajaran Bahasa Belanda. Di Tomohon ada sebuah Meisjes-school swasta milik zending Protestan, tetapi ke sekolah ini pun Maria tidak diizinkan pada waktu itu. Gadis-gadis Minahasa setelah menamatkan SD biasanya langsung bekerja membantu orang tua, bertani atau mengurus rumah tangga sampai tiba masanya menikah. Kakak lelakinya Andries adalah satu-satunya pria dalam keluarga Maramis. Oleh karenanya terus dibiayai sekolahnya dengan harta warisan keluarga.

Maria Memanfaatkan Kesempatan

Ezam Rotinsulu termasuk orang yang terpandang dan mempunyai banyak kenalan termasuk orang Belanda. Hal itu merupakan kesempatan yang baik bagi Maria. Ia belajar mengurus rumah tangga dan cara-cara menerima tamu-tamu yang berpangkat tinggi. Ia belajar memasak, tidak saja masakan daerah tetapi masakan Belanda, dan belajar membuat kue-kue. Berkat kedudukan pamannya itu Maria punya banyak kenalan. Seringkali diundang untuk menghadiri pesta yang diadakan oleh orang-orang Belanda, kesempatan itu dimanfaatkannya untuk mempelajari cara bergaul dan membawa diri di tengah masyarakat dan lingkungan terpelajar. Keluarga yang sangat akrab dengan Maria ialah keluarga pendeta Belanda Ten Hoeven di Maumbi.
Pendeta Ten Hoeven adalah seorang yang mempunyai pandangan yang luas di bidang pendidikan. Ia ingin melihat gadis-gadis Minahasa memperoleh pendidikan. Hal itu sering dibicarakannya dengan Maria. Adat istiadat di daerahnya waktu itu masih merupakan kungkungan bagi kaum wanita. Karena kurang pendidikan, maka kaum wanita Minahasa waktu itu amat terbelakang. Mereka kurang mengerti soal-soal kesehatan, urusan rumah tangga dan mengasuh anak bila dibandingkan dengan wanita-wanita Belanda. Keadaan itu membuat Maria bertekad untuk membantu wanita di daerahnya. Ia sendiri, walaupun hanya mengalami pendidikan SD, masih beruntung mengetahui banyak hal mengenai kewanitaan berkat hubungannya dengan golongan terpelajar, tetapi ribuan gadis lain tidak mendapat kesempatan seperti itu.

Maria Maramis dan Keluarganya

Pada tahun 1890 Maria menikah dengan Yoseph Frederik Calusung Walanda. Laki-laki itu adalah putera seorang guru SD yang berasal dari Desa Tanggari. Dari perkawinan itu mereka memperoleh tiga orang anak, semuanya wanita, yakni Wilhelmina Frederika, Anna Paulina, dan Albertine. Maria mencurahkan perhatiannya untuk mendidik anak-anaknya. la ingin agar mereka kelak memperoleh kesempatan menempuh pendidikan tinggi. la berpendapat, bahwa seorang gadis, sebelum memasuki masa berumah tangga, harus memiliki dasar pendidikan yang luas. Menurut Maria, seorang ibu adalah inti dari suatu rumah tangga yang juga menjadi inti masyarakat. Pada sang ibulah sebenarnya tergantung kebesaran rumah tangga. Masalah makanan, pakaian, kebersihan serta kerapihan rumah dan halaman, semuanya tergantung pada ibu. Apabila hal ini dilalaikan, keadaan masyarakat akan menjadi timpang. Oleh karena itu perlu dilakukan sesuatu bagi anak-anak gadis yang kelak akan menjadi ibu.

Lahirnya PIKAT

Maria meningkatkan gerakannya dengan mengumpulkan beberapa orang temannya untuk mendirikan organisasi yang memajukan pendidikan kaum wanita. Maksudnya terlaksana, berdirilah sebuah organisasi yang diberi nama ”Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya”, disingkat PIKAT, pada tanggal 8 Juli 1917. Pada hari itu diselenggarakan rapat terbuka yang dihadiri oleh masyarakat Manado. Dalam rapat itulah PIKAT diperkenalkan kepada masyarakat luas. Dengan panjang lebar Maria menguraikan tujuan PIKAT. Masyarakat menyambutnya dengan gembira. Maria berpandangan bahwa ”Perempuan itu adalah ibu dan guru yang pertama bagi anak-anaknya”. Peranan wanita itu adalah sebagai isteri dari suaminya. sebagai ibu dari anak-anaknya dan sebagai makhluk yang paling besar daya perasanya. ”Percintaan ibu kepada anak-anak adalah seumpama mata air yang mengalir pada sungai yang tiada habis-habisnya”.
Dengan berdirinya organisasi itu Maria mulai bekerja sekuat tenaga untuk mewujudkan cita-citanya. Dikirimkannya surat kepada wanita-wanita terkemuka di beberapa tempat di Sulawesi agar ibu-ibu mendirikan cabang PIKAT, seperti di Sangir Talaud, Gorontalo, Poso, Ujung Pandang, dan di luar Sulawesi seperti di Jakarta, Bogor, Malang, Surabaya, Bandung, Cimahi, Magelang, Balikpapan, Sangu-sangu dan Kotaraja.
Maria Maramis mampu menggunakan surat kabar untuk mempropaganda cita-cita PIKAT. Tulisan Maria yang polos di dalam surat kabar “Tjahaja Siang” menarik perhatian orang banyak. Orang-orang Belanda golongan ”ETIS” (yang ingin Indonesia maju) pun tertarik. Mereka memberi bantuan uang maupun tenaga. Sebagai langkah pertama untuk merealisasikan cita-cita PIKAT, pada tanggal 2 Juli 1918 di Manado didirikan sekolah rumah tangga untuk gadis-gadis, yaitu Huishoud School PIKAT. Untuk gedung sekolah, PIKAT meyewa rumah seorang pedagang Belanda yang bersimpati. Untuk kepentingan pelajaran yang berupa berbagai alat-alat dapur dan sebagainya di dapat dari anggota-anggota PIKAT yang rela meminjamkannya, dengan demikian sekolah itu merupakan hasil gotong royong murni.

Siswa Sekolah PIKAT sementara Praktek Menjahit
Di sekolah ini ditampung gadis-gadis yang telah menamatkan pelajaran SD. Mereka diberi pelajaran dan bimbingan dalam cara-cara mengatur rumah tangga seperti memasak, menjahit, pekerjaan tangan, membuat kue, memelihara kebersihan rumah, menghias rumah dan pekarangan, menanam bunga, bahkan merawat bayi dan memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan. Semua pelajaran ditujukan agar para gadis itu kelak menjadi ibu rumah tangga yang baik. Uang sekolah yang diterima hanya 15 Gulden sebulan, sudah termasuk uang pondokan. Sudah tentu jumlah itu kurang. Untuk menambah pemasukan, Maria menjual makanan, kue-kue dan hasil pekerjaan tangan murid-murid, kepada para anggota dan para donatur. Mereka juga mengadakan pertunjukkan sandiwara ”Pingkan Mogogumoy”, sebuah cerita klasik Minahasa. Inisiatif Maria mendapat perhatian penduduk Minahasa, bahkan Residen Kroon dan istrinya pun tertarik.
Selanjutnya PIKAT ingin punya gedung sekolah sendiri, tetapi uang yang diperlukan tidak cukup. Maria menyusun sebuah daftar orang-orang yang dapat diminta kesediaannya memberi pinjaman uang dengan bunga yang tidak terlalu tinggi. Usaha itu berhasil dan akhirnya dapatlah mendirikan sebuah gedung yang menyerupai asrama sekaligus sebagai sekolah. Bentuknya masih sederhana, tetapi Maria merasa gembira sebab bagaimana pun gedung itu sudah milik PIKAT sendiri. Kegembiraannya memuncak ketika dalam tahun 1920 Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum beserta istrinya berkunjung ke sekolah PIKAT. Isteri Gubernur Jenderal itu sangat terkesan dengan apa yang dilihat dan yang didengarnya dari Maria. Sebelum kembali, mereka meninggalkan uang sebanyak 40.000 Gulden sebagai sumbangan. Bantuan itu dapat melunasi hutang dan menambah peralatan sekolahnya.
Tiap bulan Maria berkunjung ke cabang-cabang PIKAT dan mengadakan rapat dengan pengurus cabang setempat. Ia sendiri selalu memakai pakaian daerah kebaya putih sebagai wujud rasa kebangsaannya. Kedua puterinya yang sudah mendapat ijazah Europese Lagere Onderwijs, dilarangnya meminta persamaan (gelijkstelling) dengan orang Belanda untuk mendapat hak melihat Eropa atas biaya pemerintah. Kepada puteri-puterinya sering dikatakannya ”Pertahankanlah bangsamu”.

Maria Walanda Maramis, “Jangan Lupa Anakku Yang Bungsu… Pikat”
Pada tahun 1932 PIKAT mendirikan Opleiding school voor Vak Onderwijs zeressen (Sekolah Guru Puteri Kejuruan), sekolah ini merupakan lanjutan dari Huishoud School. la mengajukan permohonan kepada pemerintah agar PIKAT mendapat bagian dari undian pemerintah (loterij) untuk kepentingan sekolahnya. Konsep permohonan itu ditulisnya ketika dirawat di rumah sakit dan diserahkannya kepada Nona Sumolang, Kepala Sekolah PIKAT waktu itu, dengan pesan, ”Jangan lupakan PIKAT, anakku yang bungsu”. Kata-kata itu adalah pesannya terakhir untuk kepentingan PIKAT.

Cikal Bakal Wanita Minahasa Berpolitik

Pada tahun 1919, sebuah badan perwakilan dibentuk di Minahasa dengan nama Minahassa Raad. Mulanya anggota-anggotanya ditentukan, tapi pemilihan oleh rakyat direncanakan untuk memilih wakil-wakil rakyat selanjutnya. Pada waktu itu hanya laki-laki yang bisa memilih anggota Minahassa Raad, dan Maria Maramis berusaha supaya wanita juga dapat memilih wakil-wakil yang akan duduk di dalam badan perwakilan tersebut. Usahanya berhasil, pada tahun 1921 keputusan datang dari Batavia yang memperbolehkan wanita untuk memberi suara dalam pemilihan anggota-anggota Minahassa Raad.

Gedung Minahassa Raad di Manado tempo doeloe

Anggota Minahassa Raad. Tampak sudah ada Anggota Wanita
Setelah menderita sakit beberapa waktu, maka dalam bulan Maret 1924 dalam usia 52 tahun, Maria dipanggil menghadap Tuhannya. Jenazahnya dibaringkan di Sekolah PIKAT untuk memberikan kesempatan kepada utusan-utusan cabang, dan anggota-anggota PIKAT, masyarakat terutama kaum ibu dan handai taulan memberikan penghormatan terakhir kepada ibu yang selalu mencintai mereka dan selalu mereka cintai. Sesudah itu jenazahnya di berangkatkan ke Maumbi, sembilan kilometer dari Manado dan dimakamkan di pemakaman keluarga.
Untuk mengenang jasa-jasanya setiap tanggal 1 Desember, masyarakat Minahasa memperingati Hari Ibu Maria Walanda Maramis, sosok yang dianggap sebagai pendobrak adat, pejuang kemajuan dan emansipasi perempuan di dunia politik dan pendidikan. Monumen Maria Walanda Maramis juga didirikan di area pemakamannya. Menurut Nicholas Graafland, dalam sebuah penerbitan “Nederlandsche Zendeling Genootschap” tahun 1981, Maria ditahbiskan sebagai salah satu Perempuan Teladan Minahasa yang memiliki “bakat istimewa untuk menangkap apapun juga dan untuk memperkembangkan daya pikirnya, bersifat mudah menampung pengetahuan sehingga sering lebih maju dari kaum lelaki”.

Maria Walanda Maramis diabadikan dalam Perangko Republik Indonesia
Referensi :
  • Maria Walanda Maramis, Pahlawancenter.com
  • Maria Walanda Maramis, Merdeka.com.
  • Maria Walanda Maramis, Profilperempuansulut.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar