As'ad Syamsul Arifin atau dikenal dengan sebutan Kiai Haji Raden As'ad Syamsul Arifin adalah pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah di Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo. Ia adalah ulama besar sekaligus tokoh dari Nahdlatul Ulama dengan jabatan terakhir sebagai Dewan Penasihat (Musytasar) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama hingga akhir hayatnya. Ia adalah penyampai pesan (Isyarah) yang berupa tongkat disertai ayat al-Qur'an dari K.H. Kholil Bangkalan untuk K.H. Hasyim Asy'ari, yang merupakan cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama. Beliau dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional oleh presiden Indonesia Joko Widodo pada tahun 2016.
Kehidupan awal
Kiai As'ad lahir di Syi'ib Ali, Mekah pada tahun 1897 M/1315 H. Beliau merupakan anak pertama dari pasangan Raden Ibrahim dan Siti Maimunah, keduanya berasal dari Pamekasan, Madura. Ia mempunyai adik bernama Abdurrahman. Ia dilahirkan di perkampungan Syi'ib Ali, dekat Masjidil Haram, Mekah, ketika kedua orang tuanya menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana untuk memperdalam ilmu-ilmu keislaman. Kiai As'ad masih memiliki darah bangsawan dari kedua orang tuanya. Ayahnya, Raden Ibrahim (yang kemudian lebih dikenal dengan nama K.H. Syamsul Arifin) adalah keturunan Sunan Ampel dari jalur sang ayah. Sedangkan dari pihak ibu masih memiliki garis keturunan dari Pangeran Ketandur, cucu Sunan Kudus.
Pada usia enam tahun, Kiai As'ad dibawa orang tuanya pulang ke Pamekasan dan tinggal di Pondok Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan, Madura. Sedangkan adiknya, Abdurrahman, yang masih berusia empat tahun dititipkan kepada Nyai Salhah, saudara sepupu ibunya yang masih bermukim di Mekah. Setelah lima tahun tinggal di Pamekasan, Kiai As'ad diajak ayahnya untuk pindah ke Asembagus, Situbondo, yang pada saat itu masih berupa hutan belantara yang terkenal angker dan dihuni oleh banyak binatang buas dan makhluk halus. Kiai As'ad diajak ayahnya pindah ke pulau Jawa untuk menyebarkan agama Islam di sana.
Pendidikan
Sebagai anak seorang ulama, sejak kecil Kiai As'ad sudah mendapat pendidikan agama yang diajarkan langsung oleh ayahnya. Setelah beranjak remaja (usia 13 tahun), ia dikirim ayahnya untuk belajar di Pondok Pesantren Banyuanyar, Pamekasan, sebuah pesantren tua yang didirikan oleh K.H. Itsbat Hasan pada tahun 1785. Di Pondok Pesantren tersebut, Kiai As'ad diasuh oleh K.H. Abdul Majid dan K.H. Abdul Hamid, keturunan dari K.H. Itsbat.
Setelah tiga tahun belajar di Pesantren Banyuanyar (1910-1913), saat usianya menginjak 16 tahun, ia kemudian dikirimkan ayahnya ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan belajarnya di sana. Di Mekah, ia masuk ke Madrasah Shalatiyah, sebuah madrasah yang sebagian besar murid dan guru-gurunya berasal dari al-Jawi (Melayu). Ia belajar ilmu-ilmu keislaman kepada ulama-ulama terkenal, baik yang berasal dari al-Jawi (Melayu) maupun dari Timur Tengah.
Guru-guru Kiai As'ad ketika belajar di Mekah:
- Syeikh Abbas al-Maliki
- Syeikh Hasan al-Yamani
- Syeikh Muhammad Amin al-Quthbi
- Syeikh Hasan al-Massad
- Syeikh Bakir (K.H. Bakir asal Yogyakarta)
- Syeikh Syarif as-Sinqithi
Kiai As'ad mengaji tabarukkan di beberapa pesantren di tanah Jawa dan Madura, antara lain: Pesantren Sidogiri Pasuruan (asuhan KH. Nawawi), pesantren Siwalan Panji Buduran Sidoarjo (asuhan KH. Khazin), Pesantren an-Nuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura, Pesantren Kademangan Bangkalan (KH. Muhammad Cholil) dan Pesantren Tebu Ireng Jombang.
Mengasuh pesantren
Pada tahun 1908, setelah pindah ke Situbondo, Kiai As'ad dan ayahnya beserta para santri yang ikut datang dari Madura membabat alas (menebang hutan) di Dusun Sukorejo untuk didirikan pesantren dan perkampungan. Pemilihan tempat tersebut atas saran dua ulama terkemuka asal Semarang, Habib Hasan Musawa dan Kiai Asadullah.
Usaha Kiai As'ad dan ayahnya tersebut akhirnya terwujud. Sebuah pesantren kecil yang hanya terdiri dari beberapa gubuk kecil, mushala, dan asrama santri yang saat itu masih dihuni beberapa orang saja.
Sejak tahun 1914, pesantren tersebut berkembang bersamaan dengan datangnya para santri dari berbagai daerah sekitar. Pesantren tersebutlah yang akhirnya dikenal dengan nama Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah.
Di bawah kepemimpinan Kiai As'ad, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah berkembang semakin pesat, dengan bertambahnya santri hingga mencapai ribuan. Kemudian, lembaga pendidikan dari pesantren tersebut akhirnya semakin diperluas, tanpa meninggalkan sistem lama yang menunjukkan ciri khas pesantren. Pesantren tersebut mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah, kemudian didirikan pula sekolah umum seperti SMP, SMA, dan SMEA.
Wasiat kepada para santrinya
Kiai As'ad meninggal pada 4 Agustus 1990 di Situbondo pada umur 93 tahun. Namun meskipun Kiai As'ad telah meninggal, dawuh (nasihat) maupun perkataannya masih melekat dan diikuti oleh para santri dan pecintanya. Di antara wasiat (pesan) Kiai As'ad yang pernah ia sampaikan kepada para santrinya ialah:
- Santri Sukorejo yang keluar dari NU (Nahdlatul Ulama), jangan berharap berkumpul dengan saya di akhirat.
- Santri saya yang pendiriannya tidak dengan saya, saya tidak bertanggung jawab di hadirat Allah SWT (Subhanahu Wa Ta'ala).
- Santri saya yang pulang atau berhenti harus ikut mengurusi dan memikirkan paling tidak salah satu dari tiga hal, yakni: Pendidikan Islam, dakwah melalui NU dan ekonomi masyarakat.
- Istiqamah (terus menerus) membaca Ratibul Haddad.
- Santri saya sebenarnya umum, anak siapa saja, dalam keadaan bagaimana saja, pasti selamat dan jaya asal jujur, giat dan ikhlas.
Berjuang Mengawal Negeri
Perjuangan Kiai As’ad dalam mengusir penjajah sangat nyata. Bahkan
Pondok Pesantrennya pernah diserbu pasukan penjajah. Berkat
kegigihannya, 10.000 orang yang ada disana sudah bisa terevakuasi dengan
baik. Kemahiran Kyai As’ad dalam beladiri dan seni perang menjadikan
pasukannya memenangkan pertempuran di Bantal Asembagus dimana Belanda
sempat mengepung markas TNI.
Sosok Kiai As'ad Syamsul Arifin menjadi inspirasi bagi santri masa kini.
Beliau memiliki keilmuan, kemampuan dan visi perjuangan yang lengkap.
Kiai As'ad memiliki kedalaman ilmu agama yang tidak diragukan, mengusai
ilmu militer dan bela diri, serta berhasil mengomando para bandit agar
membantu perjuangan santri dalam mengawal kemerdekaan Indonesia.
Dalam catatan Syamsul A Hasan (2003), salah satu kecerdikan Kiai As'ad
adalah kemampuannya dalam mengorganisir bajingan-bajingan, brandal dan
jawara yang sebagian besar berasal dari kawasan Tapal Kuda. Para bandit
dan jawara dari Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Jember,
Lumajang dan Pasuruan dikumpulkan untuk diajak berjuang melawan penjajah
Belanda. Barisan bandit ini, kemudian dihimpun sebagai dengan satu
nama: "Pelopor". Barisan Pelopor ini, sering berpakaian serba hitam,
mulai dari baju, celana, hingga tutup kepala. Mereka menggunakan senjata
celurit, rotan dan keris. Uniknya, para jawara yang berada di barisan
Pelopor ini, tunduk dan setia pada komando Kiai As'ad Syamsul Arifin.
Kiai As'ad memerintahkan para pejuang Pelopor bagian logistik untuk
mengirim pejuang yang berada di hutan. Pasukan Pelopor, Sabilillah,
Hizbullah, dan pasukan lain berjuang dengan strategi gerilya. Mereka
masuk gunung dan keluar gunung, untuk menyerang pasukan Belanda, lalu
mengamankan diri. Mereka menggunakan taktik: "serang dan lari"! Strategi
ini dilakukan oleh para santri yang tergabung dalam pelbagai laskar,
hingga Negara Republik Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda, pada
Desember 1949.
Kiai As'ad mengutus beberapa anggota pasukan Pelopor dan Sabilillah
untuk mengambil senjata milik pasukan Belanda. Di kawasan Situbondo,
tugas ini dikomando oleh Mawie dan Hamid, barisan Sabilillah.
Menariknya, mereka merekrut para brandal yang siap berjuang untuk negara
Indonesia. Pada malam hari, para brandal dan preman ini, mengambil
senjata-senjata milik Belanda di beberapa Pabrik Gula (PG) kawasan
Situbondo. Pada masa penjajahan, Pabrik Gula memegang peran vital
sebagai lumbung ekonomi Belanda, hingga mendapat akses langsung ke
birokrasi pusat. Di PG, para pekerja keamanan diberi fasilitas senjata.
Setelah senjata terkumpul, kemudian dibagikan kepada anggota Pelopor,
Sabilillah, Hizbullah, dan pejuang-pejuang lainnya.
Jaringan pejuang di kawasan Bondowoso dan Jember juga melakukan hal yang
sama, merebut senjata dari pasukan Belanda. Para anggota Pelopor
mengirim senjata ke markas pejuang Kiai As'ad, dengan melewati hutan
belantara. Strategi ini, agar misi ini tidak diketahui oleh pasukan
Belanda. Setelah sampai di Sukorejo, senjata-senjata ini dikumpulkan,
disimpan di bawah lumbung padi, dipendam di masjid, atau ditanam di
kuburan (Hasan, 2003: 131-134).
Salah satu motivasi dan petuah penting Kiai As'ad tentang perjuangan
adalah bagaimana niat menjadi utama: "Perang itu harus niat menegakkan
agama dan 'arebbuk negere (merebut negara), jangan hanya 'arebbuk
negere! Kalau hanya 'arebbuk negere, hanya mengejar dunia, akhiratnya
hilang! Niatlah menegakkan agama dan membela negara sehingga kalau
kalian mati, akan mati syahid dan masuk surga!" (Rahman, 2015: 138).
Pemikiran, strategi dan teladan yang diwariskan oleh Kiai As'ad Syamsul
Arifin harus menjadi semangat bagi santri masa kini. Apa yang bisa
dipetik dari kisah Kiai As'ad? Bahwa santri harus tetap menjaga jalur
pengetahuan (sanad) dengan para kiai, mendalami ilmu-ilmu agama yang
menjadi benteng kokohnya Islam, merawat Nahdlatul Ulama, serta membela
negeri ini kelompok yang ingin merusaknya. Semangat KH. Raden As'ad
Syamsul Arifin dapat menjadi pedoman bagi santri untuk menjaga negeri,
mengawal kesatuan bangsa ini[].Ketegasan Kiai As’ad dalam menjadikan
Pancasila sebagai asas organisasi NU sudah tidak diragukan lagi. Saat
Pemerintah mewajibkan penggunaan Pancasila tahun 1982/1983, NU merespon
cepat dengan menggelar Munas Alim Ulama di Ponpes milik Kiai As’ad.
Menerima Pancasila
Tanggal 21 Desember 1983, Munas memutuskan menerima Pancasila dan
revitalisasi Khittah 1926. Pada bulan Desember 1984 dalam Muktamar NU
XXVII diputuskan asas Pancasila dan Khittah NU. Dan NU menjadi Ormas
pertama yang menerima Pancasila.
Gagasan besar KH Achmad Shiddiq dalam menerima Pancasila ini diiyakan
oleh KH As’ad bersama KH Mahrus Ali, KH Masykur dan KH Ali Ma’shum.
Akibat dari menerima Pancasila itu, KH As’ad sering mendapatkan teror,
surat kaleng dan ancaman mau dibunuh.
Itu semua ia lewati dengan penuh kebijaksanaan. Sehingga secara
pelan-pelan Kiai NU dan para nahdliyyin bisa menerima dan memahami di
balik makna NU berpancasila, semata-mata untuk keutuhan NKRI.
Gelar pahlawan Nasional
Pesiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Alm. KH Raden As'ad Syamsul Arifin dalam rangka memperingati Hari Pahlawan tahun 2016 di Jakarta Pusat, Rabu (9/11/2016) berdasarkan Keppres Nomor 90/TK/Tahun 2016 tertanggal 3 November 2016.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar