Sabtu, 07 September 2013

Qadar dan Qadla

QADHA DAN QADAR


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Qadha dan Qadar merupakan rukun iman yang ke enam. Kita umat muslim harus benar-benar meyakininya, artinya setiap manusia (muslim dan muslimat) wajib mempunyai niat dan keyakinan sungguh-sungguh bahwa segala perbuatan makhluk, sengaja maupun tidak telah diteapkan oleh Allah SWT.[1]
            Pembicaraan mengenai qadha dan qadar merupakan suatu bahan diskusi yang tidak akan pernah selesai atau habis untuk dibahas oleh banyak kalangan dan juga tidak akan pernah ada suatu kesepakatan. Dalam persoalan qadha dan qadar kaum muslimin terpecah menjadi dua golongan yaitu golongan Jabbariyah dan golongan Qadariyah. Dan dalam makalah ini yang menjadi pokok pembahasan adalah takdir menurut golongan Qadariyah. Dari pembahasan makalah ini diharapkan kita semua bisa mendapatkan pemahaman yang bisa meningkatkan kadar keimanan kita kepada Allah SWT.
B.     Rumusan Masalah
1.      Sebutkan definisi Qadha dan Qadar dari berbagai segi?
2.      Apa saja ruang lingkup Qadha dan Qadar?
3.      Bagaimanakah takdir menurut Qadariyah?

BAB II
PEMBAHASAN
A.          Definisi Qadha dan Qadar
1.      Secara etimologi, qadha memiliki arti yaitu sebagai berikut:
a.       Pemutusan, kita bisa temukan pengertian ini pada firman Allah:
(Dia) yang mengadakan langit dan bumi dengan indahnya, dan memutuskan sesuatu perkara, hanya Dia mengatakan: Jadilah, lalu jadi.” [QS. Al-Baqarah (2): 117]
b.      Perintah, kita bisa temukan pengertian ini pada firman Allah:
 “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” [QS. Al-Israa` (17): 23]
c.       Pemberitaan, bisa kita temukan dalam ayat:
 “Dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh.” [QS. Al-Hijr (15): 66]
Imam az-Zuhri berkata, “Qadha secara etimologi memiliki arti yang banyak. Dan semua pengertian yang berkaitan dengan qadha kembali kepada makna kesempurnaan….” (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Al-Atsir 4/78).
Adapun qadar secara etimologi berasal dari kata qaddara, yuqaddiru, taqdiiran yang berarti penentuan. Pengertian ini bisa kita lihat dalam ayat Allah berikut ini:
 “Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” [QS. Fushshilat (41): 10].
2.      Dari sudut terminologi, qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah ditetapkan oleh Allah pada zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha).[2]
3.      Menurut Ulama Mutakallimin
a.       Golongan Asy’ariyah
Qadha adalah iradah Allah dalam azalnya berhubungan dengan segala hal dan keadaan, kebaikan atau keburukannya keadaan mana yamg sesuai dengan apa yang akan diciptakan Allah yang tidak akan berubah sampai terbuktinya iradah tersebut. Sedangkan Qadar adalah “mewujudkannya Allah” terhadap semua makhluk dalam bentuk tertentu, baik mengenai zat ataupun sifatnya dimana keadaan itu sesuai dengan iradah Allah.
b.      Golongan Maturidiyah
Qadha adalah mewujudkannya Allah terhadap sesuatu dengan serapi-rapinya dan sebaik-baiknya. Sedangkan Qadar adalah ilmu Allah tentang azalnya tentang akan terjadinya segala sesuatu dalam bentuk dan keadaan yang tidak akan menyimpang dari ilmu Allah tersebut.
c.       Golongan Mu’tazilah (Qadariyah)
Dalam memahami qadha dan qadar mereka memahami bahwa manusia atau hamba Allah itu berdiri sebagai subyek yang dapat menentukan perbuatannya sendiri yang berupa perbuatan ikhtiyariah, sedang Allah itu tidak menghendaki adanya kemaksiatan dan kejahatan.
d.      Ahli filsafat
Qadha ialah ilmu Allah terhadap segala sesuatu, bagaimana seharusnya keadaan sesuatu itu terwujud dalam sebaik-baik bentuk dan sistem. Sedangkan Qadar adalah terbuktinya semua kejadian dan makhluk di alam sehingga benar-benar wujud, lengkap dengan sebab-sebabya serta sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh qadha Allah.[3]
B.           Ruang Lingkup Qadha dan Qadar
Dalam membahas Qadha dan Qadar, kita juga merasa perlu untuk membahas pula apa itu takdir dan juga nasib, apakah keduanya ini sama-sama dalam pendefinisian qadha dan qadar. Ataukah memiliki keterkaitan atau juga mungkin malah saling kontradiksi.
                      Jadi secara sederhana kita dapat memahami, bahwa qadha merupakan hukum yang ditetapkan Allah dalam azalinya semenjak dahulu kala tentang apa-apa yang akan terjadi di dunia dan akhirat, sementara qadar adalah merancang dan merencanakan sesuatu yang akan diperbuat dengan fikiran dan perhitungan yang semasak-masaknya dan seteliti-telitinya.[4]
                      Dari pengertian di atas, maka antara qadha dan qadar itu tidak terlalu berbeda, malah bisa dikatakan satu arti. Hal ini dapat kita lihat berdasarkan hadis Nabi Muhammad, dimana penuturan qadha dan qadar bersama-sama dan kadang hanya menuturkan qadar saja, umpamanya:
           Artinya:
           Ilmu Allah Ta’ala dalam azalnya yang meliputi segala apa yang akan terjadi dan yang berhubungan dengan itu, dan yang sekiranya terjadi kelak pasti sesuai dengan apa yang telah diketahui dan yang telah ditentukan sejak semula oleh Allah.
                      Berikutnya  akan dijelaskan tentang takdir dan nasib
1)   Istilah takdir dapat kita temukan dalam Al-Quran surat al-Ra’d ayat 8:
           Artnya:
          
           Jadi kata Miqdarun dan taqdirun seolah  merupakan dua kata yang berbeda namun tersusun dari kata yang sama yaitu Qa-da-ra.yang artinya adalah rancangan.
           Jadi disini Allah telah menyatakan bahwa segala sesuatu adalah mempunyai rancangan masing-masing. Dan nanti akan dibuktikan juga dengan hadist yang mengatakan ”fil azali la syai’in illahi Azawajalla, tsumma khalaqal Maqadira” (Pada mulanya tidak ada apapun kecuali Allah dengan segala ilmunya, selanjutnya (dengan ilmunya itu) Allah membuat rancang bangun segala)
2)   Sementara nasib dapat kita jumpai pada al-Quran surat al-Nisa’ ayat 51:
          
           Artinya:
          
           Dari ayat tersebut sangat jelas bahwa kita mestinya dapat melihat akibat dari orang yang percaya dengan jibti dan thaagut, mereka akan menemukan nasib sial.   Jadi nasib adalah akibat dari pilihan hidup yang akan memastikan pada nasib baik (hidup dengan selain jibti dan taaghut) atau  dari pilihan hidup yang akan memastikan pada nasib sial (dengan pilihan jibti dan thaaghut).
                     Dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu itu tergantung rancangan masing-masing. Jadi takdir berdasarkan Quran  maupun hadis diatas berarti adalah suatu rancangan. Bahasa kerennya adalah Blue print. Allah sendiri dalam menciptakan alam semesta ini bermula dari ilmu-Nya yang kemudian membuat rancangannya yang terdiri rancangan positif dan negatif. (Thummakhalaqal maqaadir, thumma khalaqal maa) Pada penciptaan ini,  Allah telah mengajarkan dengan menciptakan dari yang baik atau rancangan yang baik maka begitu juga kita sebagai manusia harus mengawali sesuatu itu dengan yang baik. (”ma khalaqta hadza batilan, tidak Aku ciptakan dari sesuatu yang batil).
                     Setelah kita menyadari bahwa sesuatu itu mempunyai rancangan (yang baik maupun yang buruk) maka Tugas Allah adalah sebagai Hakimun, yaitu Hakim penentu yang tidak pernah salah atas segala usaha yang dilakukan oleh Makhluq-Nya. Keputusan Allah ini tidak bisa diganggu gugat. Allah sebagai Penentu, dan manusia tinggal memilih rancangan mana yang mau diambil. Kalau manusia telah memilih mana rancangan yang mau diambil dan kemudian mengusahakan atas pilihannya itu dengan mengerahkan segenap kemampuanya, maka pada waktunya akan menerima keputusan atau nasib. Jadi nasib adalah keputusan dari Allah atau kepastian dari Allah atas pilihan yang diusahakannya.[5]
                     Sementara itu dalam buku Mengubah Takdir karya Agus Mustofa, disebutkan takdir bukanlah nasib. Takdir adalah takdir, yang ditetapkan Allah berdasarkan usaha kita. Maka tujuan diajarkannya konsep takdir adalah agar kita profesional dalam menyikapi akibat perbuatan kita. Agar tidak gembira berlebuhan ketika mendapat rahmat. Dan agar tidak putus asa ketika gagal. Jadi tipikal orang yang mempercayai takdir adalah orang-orang yang menyeimbangkan kenikmatan duniawi dan kenikmatan ukhrawi secara simultan.
C.          Takdir Menurut Qadariyah
Kata Qadariyah berasal qadara yang berarti berkuasa. Maksud berkuasa adalah mempunyai kekuasaan (qudrat). Tuhan disebut Qadir karena Dia mempunyai qudrat yang sangat besar dan dahsyat. Manusia bisa berbuat karena dalam dirinya juga terdapat qudrat.[6] Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri, berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama aliran yang memberi penekanan atas kebebasan. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia harus tunduk pada qadar Tuhan.[7]
Adapun doktrin yang dikembangkan oleh kaum Qadariyah ini diantaranya:
1.      Manusia mempunyai daya dan kekuatan untuk menentukan nasibnya, melakukan segala sesuatu yang diinginkan baik dan buruknya. Jadi surga atau neraka yang didapatnya bukan merupakan takdir Tuhan melainkan karena kehendak dan perbuatannya sendiri.
2.      Faham takdir dalam pandang Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum di pakai bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu ketentuan Allah yang di ciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Quran adalah sunatullah.[8]
3.      Secara alamiah manusia mempunyai takdir yang tak dapat diubah mengikuti hukum alam seperti tidak memiliki sayap untuk terbang, tetapi manusia memiliki daya untuk mengembangkan pemikiran dan daya kreatifitasnya sehingga manusia dapat menghasilkan karya untuk mengimbangi atau mengikuti hukum alam tersebut dengan menciptakan pesawat terbang.[9]
Jadi, secara tidak langsung Qadariyah adalah aliran yang berpendapat bahwa takdir itu tidak ada. Dan segala sesuatu itu tergantung pada diri sendiri. Jika ia berkehendak, maka ia dapat memberikan petunjuk pada dirinya sendiri, barangsiapa menghendaki juga dapat menyesatkan dirinya sendiri, serta siapa yang berkehendak, maka ia dapat menghinakan dirinya, dan siapa yang mengunginkan, maka ia akan mengantarkan dirinya kepada kebaikan. Semuanya itu kembali pada kehendak hamba itu sendiri dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan kehendak Tuhan.[10]

BAB III
KESIMPULAN
a.       Definisi Qadha dan Qadar
            Secara etimologi, qadha berarti pemutusan, perintah, dan pemberitaan. Sedangkan qadar berarti penentuan. Sedangkan secara terminologi, qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah ditetapkan oleh Allah pada zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha).
            Sedangkan menurut ulama mutakallimin, dalam hal ini golongan Mu’tazilah (Qadariyah), yaitu dalam memahami qadha dan qadar mereka memahami bahwa manusia atau hamba Allah itu berdiri sebagai subyek yang dapat menentukan perbuatannya sendiri yang berupa perbuatan ikhtiyariah, sedang Allah itu tidak menghendaki adanya kemaksiatan dan kejahatan.
b.      Ruang lingkup dalam membahas qadha dan qadar maka dirasa perlu untuk juga menjelaskan takdir dan nasib.
            Jadi secara sederhana kita dapat memahami, bahwa qadha merupakan hukum yang ditetapkan Allah dalam azalinya semenjak dahulu kala tentang apa-apa yang akan terjadi di dunia dan akhirat, sementara qadar adalah merancang dan merencanakan sesuatu yang akan diperbuat dengan fikiran dan perhitungan yang semasak-masaknya dan seteliti-telitinya.
            Sedangkan takdir, berdasarkan Quran  maupun hadis berarti suatu rancangan. Bahasa kerennya adalah Blue print. Allah sendiri dalam menciptakan alam semesta ini bermula dari ilmu-Nya yang kemudian membuat rancangannya yang terdiri rancangan positif dan negatif.
            Dan nasib adalah ketika manusia telah memilih mana rancangan yang mau diambil dan kemudian mengusahakan atas pilihannya itu dengan mengerahkan segenap kemampuanya, maka pada waktunya akan menerima keputusan atau nasib. Jadi nasib adalah keputusan dari Allah atau kepastian dari Allah atas pilihan yang diusahakannya.
c.       Takdir menurut Qadariyah
            Secara tidak langsung Qadariyah adalah aliran yang berpendapat bahwa takdir itu tidak ada. Dan segala sesuatu itu tergantung pada diri sendiri. Jika ia berkehendak, maka ia dapat memberikan petunjuk pada dirinya sendiri, barangsiapa menghendaki juga dapat menyesatkan dirinya sendiri, serta siapa yang berkehendak, maka ia dapat menghinakan dirinya, dan siapa yang mengunginkan, maka ia akan mengantarkan dirinya kepada kebaikan. Semuanya itu kembali pada kehendak hamba itu sendiri dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan kehendak Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
 Abdul Mu’in, Taib Thahir. Ilmu Kalam, Jakarta: Widjaya
                                             Al-Jauziyah,Ibnu Qayyim. 2006.  Qadha dan Qadar Ulasan Tuntas Masalah                                Takdir, Jakarta: Pustaka Azzam
                                            http://khofif.wordpress.com/2010/06/15/faham-qadariyah/diakses
 Zainuddin, H. 1996. Ilmu Tauhid Lengkap, Jakarta: Rineka Cipta


                [1] Drs. H. Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 132.
                [2] http://www.dakwatuna.com/2008/iman-kepada-qadha-dan-qadar/ diakses pada tanggal 31 Oktober 2010
                [3] Prof. K.H.M Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, (Jakarta: Widjaya, xxx),  225-226.
                [4] Ibid., 228.
                [5] http://nustaffsite.gunadarma.ac.id/blog/rakhma/2010/02/07/nasib-dan-taqdir/ diakses pada tanggal 31 Oktober 2010
                [6] Afrizal M., Ibn Rusyd 7 Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, (Jakarta: Erlangga, 2006), 28-29.
                [8]Ibid.,
                [9] http://khofif.wordpress.com/2010/06/15/faham-qadariyah/diakses pada tanggal  31 Oktober 2010
                [10] Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Qadha dan Qadar Ulasan Tuntas Masalah Takdir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), xv.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar