AL-HALLAJ
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep al-hulul dalam ranah tasawuf merupakan suatu ajaran dimana Tuhan
mengambil tempat pada manusia tertentu yang dipilih-Nya. Sementara dalam
pandangan manusia awam yang tidak mengetahui dan mengenal tasawuf mungkin akan
mengira konsep al-hulul, ittihad dan
lain sebagainya adalah bentuk penyimpangan dari ajaran agama Islam dan sangat
membahayakan umat Islam.
Tetapi dalam konteks pendidikan
khususnya ilmu tasawuf, maka ajaran al-hulul,
ittihad, mahabbah, ma’rifat dan
sebagainya merupakan suatu sarana agar bisa ber-taqarrub ila Allah. Dan dalam makalah ini yang
menjadi pokok pembahasan adalah paham al-hulul yang diajarkan oleh Al-Hallaj.
Dari pembahasan makalah ini diharapkan penulis dan pembaca bisa mendapatkan
pemahaman yang bisa meningkatkan keilmuawan kita mengenai ajaran dalam tasawuf
khususnya al-hulul.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah biografi Al-Hallaj?
2.
Bagaimanakah konsep ajaran al-hulul yang disampaikan Al-Hallaj?
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI AL-HALLAJ
Di
tengah pergolakan intelektual, filsafat, politik dan peradaban Islam ketika
itu, tiba-tiba muncul sosok agung yang dinilai sangat kontroversial oleh
kalangan fuqaha’, politisi dan kalangan Islam formal ketika itu. Bahkan
sebagian kaum sufi pun ada yang kontra. Yaitu sosok Al-Husain bin Mansur
Al-Hallaj. Sosok yang berpengaruh dalam peradaban teosofia Islam, sekaligus
menjadi watak misterius dalam sejarah Tasawuf Islam.
Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughis
al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidawi, dan lebih dikenal dengan nama
al-Hallaj. Beliau dilahirkan pada tahun 244 H/858M. kakeknya, Muhammad seorang
penyembah api pemeluk agama Majusi sebelum dia masuk Islam. Ada yang
mengatakan, al-Hallaj berasal dari keturunan Abu Ayyub, sahabat Rasulullah.[1]
Menurut catatan As-Sulamy, Al-Hallaj
pernah berguru pada Al-Junaid al-Baghdady, Abul Husain an-Nury, Amr al-Makky,
Abu Bakr al-Fuwathy dan guru-guru lainnya. Walaupun ia ditolak oleh sejumlah sufi,
namun ia diterima oleh para sufi besar lainnya seperti Abul Abbad bin Atha’,
Abu Abdullah Muhammad Khafif, Abul Qasim Al-Junaid, Ibrahim Nashru Abadzy.
Mereka memuji dan membenarkan Al-Hallaj, bahkan mereka banyak mengisahkan dan
memasukkannya sebagai golongan ahli hakikat.
B. AJARAN AL-HALLAJ
Intisari
ajaran tasawuf al-Hallaj yang kadang dinyatakan dalam bentuk syair dan kadang
berupa nasr dengan kata-kata yang
dalam meliputi tiga persoalan pokok, yaitu hulul,
haqiqah muhammadiyah dan wahdah al-adyan.
Tetapi dalam makalah ini lebih difokuskan pada konsep hulul.
Menurut etimologi, kata al-hulul adalah bentuk masdar dari fi’il:
hall-yahull-hulûl yang berarti
“bertempat di” atau “tinggal di”. Sedangkan kata adalah isim al-makan dari kata la di atas. Berarti tempat
yang ditempati. Dikaitkan dengan konsep al-hulul
di atas, maka tubuh manusia dapat disebut mahall.
Adapun menurut terminologi, al-hulul adalah ajaran yang mengatakan
bahwa Tuhan memilih tubuh manusia-manusia tertentu untuk bersemayam di dalamnya
dengan sifat-sifat ketuhanannya, setelah sifat-sifat kemanusiaannya yang ada
dalam tubuhnya dilenyapkan terlebih dahulu.
Paham bahwa Allah dapat mengambil
tempat pada diri manusia, bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj yang
mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Tuhan pun
menurutnya, mempunyai sifat kemanusiaan disamping sifat ketuhanan-Nya. Dengan
dasar inilah maka persatuan antara Tauhan dengan manusia bisa saja terjadi. Dan
persatuan inilah, dalam ajaran al-Hallaj disebut dengan al-hulul (mengambil tempat).
Paham al-Hallaj di atas didasari
oleh konsep penciptaan Adam. Menurutnya, sebelum Tuhan menciptakan makhluk-Nya.
Dia hanya melihat dirinya sendiri. Dalam kesendiriannya itu terjadi dialog
antara Dia dengan diri-Nya sendiri, dialog yang di dalamnya tidak ada kata-kata
ataupun huruf-huruf. Yang dilihatnya hanyalah kemuliaan dan ketinggian Zat-Nya.
Dan Dia pun cinta terhadap Zat-Nya itu. Cinta yang tak dapat disifatkan dan
cinta inilah yang menjadi sebab dari segala yang ada (makhluk-Nya). Kemudian
Dia pun mengeluarkan dari yang tiada bentuk diri-Nya dan bentuk itu adalah
Adam. Maka pada diri Adamlah, Tuhan muncul dalam bentuk-Nya. Dengan demikian
pada diri Adam terdapat sifat-sifat yang dipancarkan Tuhan yang berasal dari
Tuhan.[2]
Menurut al-Hallaj, Allah mempunyai
dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan (lahut)
dan sifat kemanusiaan (nasut).
Demikian pula manusia, disamping mempunyai sifat kemanusiaan (nasut), juga memiliki sifat ketuhanan (lahut) dalam dirinya. Paham al-Hallaj
ini dapat pula dilihat dalam tafsirannya mengenai kejadian Adam (al-Quran surat
al-Baqarah ayat 34) yang artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Kami
berfirman kepada para malaikat: sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka
kecuali iblis; ia enggan dengan takabur; dan ia termasuk golongan orang-orang
yang kafir”.
Menurut al-Hallaj, Allah memberikan
perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam karena pada diri Adam, Allah
menjelma sebagaimana Dia menjelma (hulul)
dalam diri Isa as. Paham bahwa Allah menjelma dalam diri Adam, berarti pula
Allah menjadikan Adam sesuai dengan bentuk-Nya. Dengan kata lain, Adam itu
adalah copy Tuhan. Paham ini
berpangkal dari sebuah hadis yang berpengaruh sangat besar atas sufi: “sesungguhnya
Allah menciptakan adam sesuai dengan bentuk-Nya.”
Paham al-Hallaj ini lebih jelas
kelihatan dalam gubahan syairnya:
Maha Suci Zat yang menyatakan
nasut-Nya
dengan lahut-Nya,
yang cemerlang seiring bersama
lalu dalam makhluk-Nya pun tampak
nyata
bagai si peminim dan si
pemakan tampak sosok-Nya
hingga semua makhluknya melihat-Nya
bagaikan bertemunyadua kelopak mata
Dengan demikian menurut paham tasawuf al-Hallaj dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan, dan dalam diri Tuhan terdapat
sifat kemanusiaan. Karena itu persatuan antara
Tuhan dengan manusia bisa terjadi; dan persatuan itu mengambil bentuk hulul.
Dalam
suatu sumber yang lain, disebutkan bahwa Al-Hallaj mengambil teori hulûl dari kaum Nasrani yang menyatakan
bahwa Allah memilih tubuh Nabi Isa, menempati, dan menjelma pada diri Isa putra
Maryam. Nabi Isa menjadi Tuhan, karena nilai kemanusiaannya telah hilang. Hulûl Allah pada diri Nabi Isa bersifat
fundamental dan permanen. Sedangkan hulûl
Allah pada diri al-Hallaj bersifat sementara; melibatkan emosi dan spiritual;
tidak fundamental dan permanen.[3]
Agar manusia dapat bersatu, ia harus terlebih
dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan melalui fana’. Kalau sifat-sifat
kemanusiaan itu telah hilang dan yang tinggal hanya sifat ketuhanan dalam
dirinya, di situlah baru Tuhan dapat mengambil tempat (hulul) dalam dirinya dan dan ketika itu ruh Tuhan dan ruh manusia
bersatu dalam tubuh manusia. Dalam sebuah gubahan syair al-Hallaj
mengungkapkan:
“Pada saat ruh-Mu
dengan ruhku jadi satu
Bagai khamar dan air bening terpadu
satu
Dan jika sesuatu menyentuh-Mu,
tersentuhlah aku
Karena itu Kau, dalam segala hal,
adalah aku”
Nada-nada
serupa juga dapat dilihat dari lirik syairnya sebagai berikut:
“aku yang kucinta
Dan yang kucinta aku pula
Kami dua jiwa padu jadi satu
Dan jika kau lihat aku
Tampak pula Dia dalam pandanganmu
Dan jika kau lihat Dia
Kami, dalam pandanganmu tampak nyata
Lebih jelas lagi dapat dilihat dari
bait-bait syairnya di bawah ini:
Kau antara kalbu
dan denyutku, berlaku
Bagaikan air mata menetes dari
kelopakku
Bisik-Mu pun tinggal dalam relung
kalbuku
Bagaikan ruh yang hulul dalam tubuh
jadi satu
Dari ungkapan-ungkapan yang tertuang
dalam gubahan syair di atas tampak jelas bahwa al-Hallaj membawa konsep hulul. Yang dimaksud dengan hulul di
situ, ialah penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemnausiaan. Atau dengan
kata lain, sesuai dengan terminologi
yang dipergunakannya, hulul-nya lahut dalam nasut. Juga, menurut al-Hallaj, pada hulul itu terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak
Ilahi, sehingga setiap tindakan manusia berasal dari Allah. Manusia menurutnya,
“sebagaimana dia tidak memiliki asal tindakannya, begitu juga dia tidak
memiliki tindakannya”.
Dengan cara inilah, menurut al-Hallaj seorang
sufi bisa bersatu dengan Tuhan. Jadi ketika al-Hallaj berkata: Ana al-haq (aku adalah Tuhan) bukanlah
ruh al-Hallaj mengucapkan kata itu, tetapi ruh Tuhan yang mengambil tempat
dalam dirinya. Dengan kata lain, bahwa al-Hallaj sebenarnya tidak mengaku
dirinya Tuhan. Hal ini pernah pula dia tegas: “aku adalah rahasia Yang Maha
Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku, Aku hanya dari yang benar, maka
bedakanlah antara kami”.
Dalam kesempatan lain, penegasannya terhadap
adanya perpaduan, al-Hallaj berkata: : “Barangsiapa mengira bahwa lahut berpadu jadi satu dengan nasut, ataupun nasut berpadu dengan lahut,
maka kafirlah dia. Sebab Allah mandiri dalam Zat dan sifat-Nya, berbeda dengan
zat dan sifat makhluk. Dan dia sama sekali tidak menyerupai makhluk-makhluk-Nya,
dan mereka pun sama sekali tidak menyerupai-Nya”. Dan katanya pula: “…seperti
halnya nasut-ku (kemanusiaanku) lebur
dalam lahut-Mu (ketuhanan-Mu), tanpa
berpadu dengan-Nya; lahut-Mu
menguasai nasut-ku, tanpa berpadu
dengannya.
Dari ungkapan-ungkapan di atas, ternyata
paham hulul ini begitu kontradiktif.
Terkadang hulul dinyatakan dalam
bentuk penyatuan, namun di pihak lain dia renegasikan (meniadakan) penyatuan,
dan secara tegas dia meniadakan segala macam bentuk atau unsur anthropomorphisme.
Thoulk seorang pemerhati al-Hallaj menginterpretasikan
bahwa dia ketika menyatakan penyatuan berada dalam keadaan fana. Atau bisa juga dikatakan sebagai cara al-Hallaj untuk menghadapi para fuqaha pada masa itu.
Atau juga, seperti telah disebutkan di atas, diduga kuat bahwa hulul, menurut al-Hallaj berciri
figuratif dan bukan riil.[4]
Para ulama maupun sarjana berbeda pendapat
tentang hakikat ajaran hulul
al-Hallaj ini. Al-Taftazani telah berusaha menampilkan beberapa pendapat
tentang hal tersebut. Di dalam kesimpulannya dia mengatakan bahwa hulul al-Hallaj itu bersifat majazi,
tidak dalam pengertian yang sesungguhnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas,
Irfan Abd al-Hamid Fattah berpendapat bahwa paham “kesatuan wujud” telah mulai
nampak sejak hadirnya Abu Yazid Al-Bustami dengan paham ittihad-nya. Dan paham hulul
al-Hallaj ini, menurut al-Taftazani merupakan perkembangan dan bentuk lain dari
paham ittihad yang diajarkan oleh Abu
Yazid al-Bustami.
Ada dua hal yang perlu dicatat dalam paham
hulul yang dikemukakan al-Hallaj . pertama, bahwa paham hulul merupakan pengembangan
atau bentuk lain dari mahabbah yang
dibawa Rabiah al-Adawiyah. Hal ini terlihat adanya kata-kata cinta yang
dikemukakan al-Hallaj . kedua, hulul
juga menggambarkan adanya ittihad
atau kesatuan rohaniah dengan Tuhan. Namun Harun Nasution membedakan rohaniah yang dialami oleh Abu Yazid dalam ittihad, dengan kesatuan rohaniah yang
dialami al-Hallaj melalui hulul.
Dalam persatuan melalui al-hulul ini, al-Hallaj kelihatannya tak
hilang, sebagaimana halnya dengan Abu Yazid dalam ittihad. Dalam ittihad, diri
Abu Yazid hancur dan yang ada hanya diri Tuhan. Dalam faham al-Hallaj, dirinya
tak hancur sebagai diungkapkan dalam syairnya tentang hulul di atas. Dengan kata lain, kalau dalam ittihad, yang dilihat oleh Abu Yazid hanya satu wujud yaitu Tuhan,
maka dalam al-hulul ada dua wujud
yang bersatu dalam satu tubuh manusia yang telah dipilih Tuhan untuk ditempati.[5]
BAB
III
KESIMPULAN
Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughis
al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidawi, dan lebih dikenal dengan nama
al-Hallaj. Beliau dilahirkan pada tahun 244 H/858M. kakeknya, Muhammad seorang
penyembah api pemeluk agama Majusi sebelum dia masuk Islam. Ada yang
mengatakan, al-Hallaj berasal dari keturunan Abu Ayyub, sahabat Rasulullah.
Konsep ajaran al-Hallaj yang sangat
fonumenal adalah mengenai konsep al-Hulul. Menurut etimologi, kata al-hulul adalah bentuk masdar dari
fi’il: hall-yahull-hulûl yang berarti
“bertempat di” atau “tinggal di”. Adapun menurut terminologi, al-hulul adalah ajaran yang mengatakan
bahwa Tuhan memilih tubuh manusia-manusia tertentu untuk bersemayam di dalamnya
dengan sifat-sifat ketuhanannya, setelah sifat-sifat kemanusiannya yang ada
dalam tubuhnya dilenyapkan terlebih dahulu.
Paham bahwa Allah dapat mengambil
tempat pada diri manusia, bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj yang
mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Tuhan pun
menurutnya, mempunyai sifat kemanusiaan disamping sifat ketuhanan-Nya. Dengan
dasar inilah maka persatuan antara Tauhan dengan manusia bisa saja terjadi. Dan
persatuan inilah, dalam ajaran al-Hallaj disebut dengan al-hulul (mengambil tempat).
Paham al-Hallaj di atas didasari
oleh konsep penciptaan Adam. Menurut al-Hallaj, Allah memberikan perintah
kepada malaikat untuk sujud kepada Adam karena pada diri Adam, Allah menjelma
sebagaimana Dia menjelma (hulul)
dalam diri Isa as. Paham bahwa Allah menjelma dalam diri Adam, berarti pula
Allah menjadikan Adam sesuai dengan bentuk-Nya. Dengan kata lain, Adam itu
adalah copy Tuhan.
Dalam suatu sumber yang lain, disebutkan
bahwa Al-Hallaj mengambil teori hulûl
dari kaum Nasrani yang menyatakan bahwa Allah memilih tubuh Nabi Isa,
menempati, dan menjelma pada diri Isa putra Maryam. Nabi Isa menjadi Tuhan,
karena nilai kemanusiaannya telah hilang.
DAFTAR
PUSTAKA
http://darul-ulum.blogspot.com/2007/06/ittihd-hull-dan-wahdat-al-wujd.html,
diakses pada
tanggal 28 November 2010
Isa,
Ahmadi MA., 2001. Tokoh-Tokoh Sufi
Teladan Kehidupan Yang Saleh, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Suryadilaga,
M. Alfatih, dkk., 2008. Miftahus Sufi,
Yogyakarta: Teras.
[3]http://darul-ulum.blogspot.com/2007/06/ittihd-hull-dan-wahdat-al-wujd.html,
diakses pada tanggal 28 November 2010
QADHA DAN QADAR
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Qadha
dan Qadar merupakan rukun iman yang ke enam. Kita umat muslim harus benar-benar
meyakininya, artinya setiap manusia (muslim dan muslimat) wajib mempunyai niat
dan keyakinan sungguh-sungguh bahwa segala perbuatan makhluk, sengaja maupun
tidak telah diteapkan oleh Allah SWT.[1]
Pembicaraan mengenai qadha dan qadar
merupakan suatu bahan diskusi yang tidak akan pernah selesai atau habis untuk
dibahas oleh banyak kalangan dan juga tidak akan pernah ada suatu kesepakatan.
Dalam persoalan qadha dan qadar kaum muslimin terpecah menjadi dua golongan
yaitu golongan Jabbariyah dan golongan Qadariyah. Dan dalam makalah ini yang
menjadi pokok pembahasan adalah takdir menurut golongan Qadariyah. Dari
pembahasan makalah ini diharapkan kita semua bisa mendapatkan pemahaman yang
bisa meningkatkan kadar keimanan kita kepada Allah SWT.
B. Rumusan Masalah
1.
Sebutkan definisi Qadha dan Qadar dari
berbagai segi?
2.
Apa saja ruang lingkup Qadha dan Qadar?
3.
Bagaimanakah takdir menurut Qadariyah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Qadha dan Qadar
1.
Secara etimologi, qadha memiliki arti
yaitu sebagai berikut:
a.
Pemutusan, kita bisa temukan pengertian
ini pada firman Allah:
“(Dia) yang mengadakan langit dan bumi dengan indahnya, dan memutuskan
sesuatu perkara, hanya Dia mengatakan: Jadilah, lalu jadi.” [QS. Al-Baqarah
(2): 117]
b.
Perintah, kita bisa temukan pengertian
ini pada firman Allah:
“Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.” [QS. Al-Israa` (17): 23]
c.
Pemberitaan, bisa kita temukan dalam
ayat:
“Dan
telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan
ditumpas habis di waktu subuh.” [QS. Al-Hijr (15): 66]
Imam
az-Zuhri berkata, “Qadha secara etimologi memiliki arti yang banyak. Dan semua
pengertian yang berkaitan dengan qadha kembali kepada makna kesempurnaan….”
(An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Al-Atsir 4/78).
Adapun
qadar secara etimologi berasal dari kata qaddara,
yuqaddiru, taqdiiran yang berarti penentuan. Pengertian ini bisa kita lihat
dalam ayat Allah berikut ini:
“Dan dia
menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya
dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat
masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.”
[QS. Fushshilat (41): 10].
2. Dari
sudut terminologi, qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah ditetapkan
oleh Allah pada zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya suatu ciptaan yang
sesuai dengan penetapan (qadha).[2]
3.
Menurut Ulama Mutakallimin
a.
Golongan Asy’ariyah
Qadha adalah iradah
Allah dalam azalnya berhubungan dengan segala hal dan keadaan, kebaikan atau
keburukannya keadaan mana yamg sesuai dengan apa yang akan diciptakan Allah
yang tidak akan berubah sampai terbuktinya iradah tersebut. Sedangkan Qadar
adalah “mewujudkannya Allah” terhadap semua makhluk dalam bentuk tertentu, baik
mengenai zat ataupun sifatnya dimana keadaan itu sesuai dengan iradah Allah.
b.
Golongan Maturidiyah
Qadha adalah mewujudkannya
Allah terhadap sesuatu dengan serapi-rapinya dan sebaik-baiknya. Sedangkan
Qadar adalah ilmu Allah tentang azalnya tentang akan terjadinya segala sesuatu
dalam bentuk dan keadaan yang tidak akan menyimpang dari ilmu Allah tersebut.
c.
Golongan Mu’tazilah (Qadariyah)
Dalam memahami qadha
dan qadar mereka memahami bahwa manusia atau hamba Allah itu berdiri sebagai
subyek yang dapat menentukan perbuatannya sendiri yang berupa perbuatan
ikhtiyariah, sedang Allah itu tidak menghendaki adanya kemaksiatan dan
kejahatan.
d.
Ahli filsafat
Qadha ialah ilmu Allah
terhadap segala sesuatu, bagaimana seharusnya keadaan sesuatu itu terwujud
dalam sebaik-baik bentuk dan sistem. Sedangkan Qadar adalah terbuktinya semua
kejadian dan makhluk di alam sehingga benar-benar wujud, lengkap dengan
sebab-sebabya serta sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh qadha Allah.[3]
B.
Ruang
Lingkup Qadha dan Qadar
Dalam
membahas Qadha dan Qadar, kita juga merasa perlu untuk membahas pula apa itu
takdir dan juga nasib, apakah keduanya ini sama-sama dalam pendefinisian qadha
dan qadar. Ataukah memiliki keterkaitan atau juga mungkin malah saling
kontradiksi.
Jadi
secara sederhana kita dapat memahami, bahwa qadha merupakan hukum yang
ditetapkan Allah dalam azalinya semenjak dahulu kala tentang apa-apa yang akan
terjadi di dunia dan akhirat, sementara qadar adalah merancang dan merencanakan
sesuatu yang akan diperbuat dengan fikiran dan perhitungan yang
semasak-masaknya dan seteliti-telitinya.[4]
Dari
pengertian di atas, maka antara qadha dan qadar itu tidak terlalu berbeda,
malah bisa dikatakan satu arti. Hal ini dapat kita lihat berdasarkan hadis Nabi
Muhammad, dimana penuturan qadha dan qadar bersama-sama dan kadang hanya
menuturkan qadar saja, umpamanya:
Artinya:
Ilmu Allah Ta’ala dalam azalnya yang
meliputi segala apa yang akan terjadi dan yang berhubungan dengan itu, dan yang
sekiranya terjadi kelak pasti sesuai dengan apa yang telah diketahui dan yang
telah ditentukan sejak semula oleh Allah.
Berikutnya akan dijelaskan tentang takdir dan nasib
1) Istilah
takdir dapat kita temukan dalam Al-Quran surat al-Ra’d ayat 8:
Artnya:
Jadi kata Miqdarun dan taqdirun
seolah merupakan dua kata yang berbeda namun tersusun dari kata yang sama
yaitu Qa-da-ra.yang artinya adalah rancangan.
Jadi disini Allah telah menyatakan
bahwa segala sesuatu adalah mempunyai rancangan masing-masing. Dan nanti akan
dibuktikan juga dengan hadist yang mengatakan ”fil azali la syai’in illahi
Azawajalla, tsumma khalaqal Maqadira” (Pada mulanya tidak
ada apapun kecuali Allah dengan segala ilmunya, selanjutnya (dengan ilmunya
itu) Allah membuat rancang bangun segala)
2) Sementara
nasib dapat kita jumpai pada al-Quran surat al-Nisa’ ayat 51:
Artinya:
Dari ayat tersebut sangat jelas bahwa
kita mestinya dapat melihat akibat dari orang yang percaya dengan jibti dan thaagut, mereka akan menemukan nasib sial. Jadi nasib
adalah akibat dari pilihan hidup yang akan memastikan pada nasib baik (hidup
dengan selain jibti dan taaghut) atau dari pilihan hidup
yang akan memastikan pada nasib sial (dengan pilihan jibti dan thaaghut).
Dapat disimpulkan bahwa
segala sesuatu itu tergantung rancangan masing-masing. Jadi takdir berdasarkan
Quran maupun hadis diatas berarti adalah suatu rancangan. Bahasa kerennya
adalah Blue print. Allah sendiri dalam
menciptakan alam semesta ini bermula dari ilmu-Nya yang kemudian membuat
rancangannya yang terdiri rancangan positif dan negatif. (Thummakhalaqal maqaadir, thumma khalaqal maa) Pada penciptaan
ini, Allah telah mengajarkan dengan menciptakan dari yang baik atau
rancangan yang baik maka begitu juga kita sebagai manusia harus mengawali
sesuatu itu dengan yang baik. (”ma
khalaqta hadza batilan, tidak Aku ciptakan dari sesuatu yang batil).
Setelah kita menyadari
bahwa sesuatu itu mempunyai rancangan (yang baik maupun yang buruk) maka Tugas
Allah adalah sebagai Hakimun, yaitu
Hakim penentu yang tidak pernah salah atas segala usaha yang dilakukan oleh Makhluq-Nya. Keputusan Allah ini tidak
bisa diganggu gugat. Allah sebagai Penentu, dan manusia tinggal memilih
rancangan mana yang mau diambil. Kalau manusia telah memilih mana rancangan
yang mau diambil dan kemudian mengusahakan atas pilihannya itu dengan
mengerahkan segenap kemampuanya, maka pada waktunya akan menerima keputusan
atau nasib. Jadi nasib adalah keputusan dari Allah atau kepastian dari Allah
atas pilihan yang diusahakannya.[5]
Sementara itu dalam buku
Mengubah Takdir karya Agus Mustofa, disebutkan takdir bukanlah nasib. Takdir
adalah takdir, yang ditetapkan Allah berdasarkan usaha kita. Maka tujuan
diajarkannya konsep takdir adalah agar kita profesional dalam menyikapi akibat
perbuatan kita. Agar tidak gembira berlebuhan ketika mendapat rahmat. Dan agar
tidak putus asa ketika gagal. Jadi tipikal orang yang mempercayai takdir adalah
orang-orang yang menyeimbangkan kenikmatan duniawi dan kenikmatan ukhrawi
secara simultan.
C.
Takdir
Menurut Qadariyah
Kata
Qadariyah berasal qadara yang berarti
berkuasa. Maksud berkuasa adalah mempunyai kekuasaan (qudrat). Tuhan disebut Qadir
karena Dia mempunyai qudrat yang
sangat besar dan dahsyat. Manusia bisa berbuat karena dalam dirinya juga
terdapat qudrat.[6] Adapun
menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya
bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini
berpendapat bahwa tiap-tiap manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya;
ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri,
berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Qadariyah dipakai untuk
nama aliran yang memberi penekanan atas kebebasan. Dalam hal ini, Harun
Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia
mempunyai qudrah atau kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia harus
tunduk pada qadar Tuhan.[7]
Adapun
doktrin yang dikembangkan oleh kaum Qadariyah ini diantaranya:
1.
Manusia mempunyai daya dan kekuatan
untuk menentukan nasibnya, melakukan segala sesuatu yang diinginkan baik dan
buruknya. Jadi surga atau neraka yang didapatnya bukan merupakan takdir Tuhan
melainkan karena kehendak dan perbuatannya sendiri.
2.
Faham takdir dalam pandang Qadariyah
bukanlah dalam pengertian takdir yang umum di pakai bangsa Arab ketika itu,
yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih
dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang
telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir
itu ketentuan Allah yang di ciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh
isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Quran adalah sunatullah.[8]
3.
Secara alamiah manusia mempunyai takdir
yang tak dapat diubah mengikuti hukum alam seperti tidak memiliki sayap untuk
terbang, tetapi manusia memiliki daya untuk mengembangkan pemikiran dan daya
kreatifitasnya sehingga manusia dapat menghasilkan karya untuk mengimbangi atau
mengikuti hukum alam tersebut dengan menciptakan pesawat terbang.[9]
Jadi,
secara tidak langsung Qadariyah adalah aliran yang berpendapat bahwa takdir itu
tidak ada. Dan segala sesuatu itu tergantung pada diri sendiri. Jika ia
berkehendak, maka ia dapat memberikan petunjuk pada dirinya sendiri,
barangsiapa menghendaki juga dapat menyesatkan dirinya sendiri, serta siapa
yang berkehendak, maka ia dapat menghinakan dirinya, dan siapa yang
mengunginkan, maka ia akan mengantarkan dirinya kepada kebaikan. Semuanya itu
kembali pada kehendak hamba itu sendiri dan tidak ada hubungannya sama sekali
dengan kehendak Tuhan.[10]
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
a.
Definisi Qadha dan Qadar
Secara etimologi, qadha berarti pemutusan, perintah, dan
pemberitaan. Sedangkan qadar berarti penentuan. Sedangkan secara terminologi,
qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah ditetapkan oleh Allah pada
zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya suatu ciptaan yang sesuai dengan
penetapan (qadha).
Sedangkan menurut ulama mutakallimin, dalam hal ini golongan
Mu’tazilah (Qadariyah), yaitu dalam memahami qadha dan qadar mereka memahami
bahwa manusia atau hamba Allah itu berdiri sebagai subyek yang dapat menentukan
perbuatannya sendiri yang berupa perbuatan ikhtiyariah, sedang Allah itu tidak
menghendaki adanya kemaksiatan dan kejahatan.
b.
Ruang lingkup dalam membahas qadha dan
qadar maka dirasa perlu untuk juga menjelaskan takdir dan nasib.
Jadi secara sederhana kita dapat memahami, bahwa qadha
merupakan hukum yang ditetapkan Allah dalam azalinya semenjak dahulu kala
tentang apa-apa yang akan terjadi di dunia dan akhirat, sementara qadar adalah merancang
dan merencanakan sesuatu yang akan diperbuat dengan fikiran dan perhitungan
yang semasak-masaknya dan seteliti-telitinya.
Sedangkan takdir, berdasarkan Quran maupun hadis
berarti suatu rancangan. Bahasa kerennya adalah Blue print.
Allah sendiri dalam menciptakan alam semesta ini bermula dari ilmu-Nya yang
kemudian membuat rancangannya yang terdiri rancangan positif dan negatif.
Dan nasib adalah ketika manusia telah memilih mana
rancangan yang mau diambil dan kemudian mengusahakan atas pilihannya itu dengan
mengerahkan segenap kemampuanya, maka pada waktunya akan menerima keputusan
atau nasib. Jadi nasib adalah keputusan dari Allah atau kepastian dari Allah
atas pilihan yang diusahakannya.
c.
Takdir menurut Qadariyah
Secara tidak langsung Qadariyah adalah aliran yang
berpendapat bahwa takdir itu tidak ada. Dan segala sesuatu itu tergantung pada
diri sendiri. Jika ia berkehendak, maka ia dapat memberikan petunjuk pada
dirinya sendiri, barangsiapa menghendaki juga dapat menyesatkan dirinya sendiri,
serta siapa yang berkehendak, maka ia dapat menghinakan dirinya, dan siapa yang
mengunginkan, maka ia akan mengantarkan dirinya kepada kebaikan. Semuanya itu
kembali pada kehendak hamba itu sendiri dan tidak ada hubungannya sama sekali
dengan kehendak Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mu’in, Taib Thahir. Ilmu Kalam, Jakarta: Widjaya
Al-Jauziyah,Ibnu Qayyim. 2006. Qadha
dan Qadar Ulasan Tuntas Masalah Takdir, Jakarta: Pustaka Azzam
Zainuddin, H. 1996. Ilmu Tauhid Lengkap, Jakarta: Rineka
Cipta
[5] http://nustaffsite.gunadarma.ac.id/blog/rakhma/2010/02/07/nasib-dan-taqdir/
diakses pada tanggal 31 Oktober 2010
[9] http://khofif.wordpress.com/2010/06/15/faham-qadariyah/diakses
pada tanggal 31 Oktober 2010
[10] Ibnu
Qayyim al-Jauziyah, Qadha dan Qadar
Ulasan Tuntas Masalah Takdir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), xv.http://hafiana9.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar