[Jazz, Nalar dan Demokrasi]
oleh : Syaiful Bahri Ruray
Kafe Jakofi, 12 Februari 2019.
NKRI - Ternate - Pada 22 dan 23 Februari 2019 kemarin, telah sukses
di gelar perhelatan musik bernuansa jazz di benteng Oranje. Benteng ini dipilih
karena ia merupakan sebuah titik awal pertautan kultural antara timur dan barat
di nusantara. Benteng Oranje di bangun oleh Cornelis Metalief de Jonge
pada 26 Mei 1607 dan di selesaikan oleh Francois Wittert pada 1609. Awalnya
benteng ini adalah benteng melayu, dimana para pedagang melayu sering
menempatinya ketika mereka berdagang rempah- rempah di Ternate. Ternate sendiri
adalah titik awal Bandar jalur sutera karena perdagangan rempah-rempah
nusantara dengan manca negara.
Sebelum kedatangan bangsa Belanda ke Ternate, yang diawali oleh Jacob
Corneliszoon van Neck [1588], dan disusul Wijbrand van Warwijk [1599], Ternate
telah dikunjungi bangsa Portugis [1512], Spanyol [1521] dan Inggris
[1579].Tercatat pelaut Inggris Francis Drake, yang memasuki perairan Moti pada
3 November 1579, kemudiandipandu Sangaji Moti, memasuki dermaga Talangame
[Bastiong], Ternate pada 4 November 1579.Armada Inggris ini sempat menerima
kunjungan Sultan Babullah di atas kapal bendera Golden Hind pada 6 November
1579, dimana Babullah disambut resmi oleh seluruh perwira kapal dengan
penghormatan penuh berupa 12kalitembakan salvo dan kemudian di iringi oleh
korps musik[brass music]eskader Inggris yang berjumlah 5 kapal tersebut. Inilah
alunan musik brass Inggris yang pertama kali tercatat diperdengarkan di
nusantara.
Adapun jauh sebelumnya, para pedagang Cina, Arab, Gujarat-India, Jawa dan
Melayu telah menjadikan Ternate sebagai Bandar perdagangan rempah-rempah
mereka. Benteng Oranje sendiri adalah bekas benteng melayu itu kemudian
di ubah menjadi markas besar VOC se Asia Tenggara dimana Ternate sempat
dipimpin oleh 4 Gubernur Jenderal Belanda, masing- masing Pieter Both, Laurens
Reael, Gerard Reinst dan Jan Pieterzon Coen. Pada periode Gubernur Jenderal
Belanda ke empat Jan Pieterzon Coen, barulah VOCmemindahkan ibukota dari
Ternate ke Jakarta dan merubah Jakarta menjadi Batavia pada 1619.
Kita dapat bertanya kenapa harus Ternate menjadi pusat perhatian? Karena
magnet cengkih ternyata luar biasa. Artefak cengkih telah ditemukan pada
peninggalan arkeologis Terqa Mesopotamia (Syria) pada 1700 SM. Pada milenium
pertama SM, era China, India hingga Romawi, cengkih telah diperdagangkan.
Bangsa China adalah manusia pertama yang memperdagangkan cengkih ke seantero
dunia. Tidak mengherankan jika sejarawan Profesor A.B.Lapian menyatakan jalur
sutera atau silk road itu, sebenarnya berawal dari Ternate atau Maluku. Jalur
tersebut secara historis sepantasnya disebut the spices road atau jalur
rempah-rempah. Karena melalui perdagangan rempah-rempah itulah terjalin
peradaban kuno sejak Dinasti Han (220-206 SM) hingga hari ini kita mengenal
dengan istilah globalisasi.
Benteng Oranje, dengan demikian adalah sebuah monumen globalisasi dimana
terjadi puncak pertautan peradaban antara timur dan barat. Pertautan peradaban
itu, juga memiliki makna imperialisme, kolonialisme, bahkan juga menghasilkan
Indonesia modern yang kita kenal sebagai negara bangsa dewasa ini. Bukankah
negara ini ada sebagai kelanjutan dari Hindia Belanda dan dibentuk berdasarkan
Traktat London,1824 itu. Karena tanpa kolonialisme, nusantara adalah hamparan
kerajaan-kerajaan yang tidak terikat satu sama lainnya. Kolonialisme pada sisi
lain, ternyata telah mempersatukan kita dalam sebuah nation state [negara
bangsa] Indonesia. Tidaklah mengherankan jika Ben Anderson menyebut negara
terbentuk dari imagined communities.
Dalam konteks itulah benteng Oranje sebagai monumen kultural,
melatarbelakangi teman-teman musisi Maluku Utara memilihnya sebagai tempat
perhelatan musik jazz yang pertama diadakan di kota rempah-rempah, Ternate ini.
Ternate sendiri, sebagai pusat peradaban bangsa-bangsa pada masa lalu, tentu
telah mengalami banyak akulturasi dam asimilasi kultural, termasuk seni musik
dalan kebudayaan lokalnya. Kita bisa menemukan tarian ‘dadanza’ peninggalan
Spanyol, termasuk peninggalan Portugis berupa polka, katreji dan mazurkas di
Labuha, Bacan, sebagaimana ditulis ilmuwan Inggris Alfred Russel Wallace dalam
magnum opusnya Malay Archipelago. Ternate sebelum kemerdekaan pun pernah
memiliki kelompok brass musik dari Kalumpang dan Santiong yang
dinamakan“Tessor.”Karena grup brass musik ini pemain terompet dan saxophone nya
rata-rata berasal dari keluarga Tess dan Assor. Grup ini konon pernah menerima
persembahan seperangkat alat tiup dari Ratu Belanda Juliana. Mereka ini adalah
musisi alamiah, berbakat tanpa dipoles pendidikan musik secara formal melalui
sebuah konservatorium sebagaimana kota-kota besar di Eropa. Dua kampung ini
hingga kini masih menyisakan blower musik tiup kesohor. Sebutlah nama Alm.
Karim Tess, seorang trumpetis jazz kawakan yang pernah mendampingi “Ireng
Maulana All Star.” Mereka juga pernah mewakili Indonesia pada berbagai festival
jazz level dunia seperti North Sea Jazz Festival di Den Haag, Belanda.Juga nama
Amri Kahar (Muraji Tess), seorang blower group band Black Brothers yang
sekarang menetap di negeri Belanda. Ternate tempo doeloe juga pernah memiliki
orkes El-Morgam yang sangat kesohor pada zamannya.
Pada era 1960-an hingga 1970-an kelompok musik Ternate ini juga membentuk
sebuah group band yang cukup kesohor di Jakarta bernama “The Tankers.” Band ini
memang terdiri dari pasukan brass musik Kalumpang dan Santiong, dimana mereka
adalah karyawan PN. Pertamina divisi perkapalan [tongkang], dibawah Direktur
Utama PN. Pertamina Ibnu Sutowo. Sebutlah nama-nama pemain The Tankers seperti
Alm. Zainal Tess, dan Anwar Tess yang sekarang pesiunan Pertamina, namun masih
giat sebagai musisi senior yang menenteng trumpet kemana-mana. The Tankers pada
era 1970-an bahkan bermain sebagai homeband pada Ramayana Bar milik Pertamina
di New York, Amerika Serikat. Biduan senior Bob Tutupoly, adalah penyanyi
merangkap mc pada Ramayana Bar tersebut.
Adapun warna musik di Ternate, memang sedikit bernuansa latin dan kaya akan
perkusi. Saya melihat faktor akulturasi Portugis dan Spanyol turut mewarnai
kebudayaan lokal kita di Maluku Utara. Sebagaimana hal yang sama dapat ditemui
pada keroncong Tugu di Jakarta yang notabene adalah peninggalan Portugis. Di
Ternate kita bisa melihat warna pada karya-karya klasik seperti beberapa
gubahan Engku Doel Syafar (Drs. A.K Syafar), misalnya dalam lagu Rosi Seli dan
Demo Madero yang bernuansa latin. Beliau juga mengarang lagu Naro Oti, Cala Ibi
dan Borero yang sangat melegenda hingga sekarang. Juga karya Abdullah Baay
seperti lagu Cangkole, bisa diaransemen menjadi latin-funky dengan perkusi yang
kuat. Abdullah Baay juga mengarang Una Kapita yang popular dimana-mana. Saya
pernah menonton dari jarak dekat Tess Brothers dalam sebuah perhelatan
keluarga, membawakan lagu “Moku-Moku Sose” dalam balutan brass dan perkusi yang
sangat kaya. Lagu ini dibawakan Karim Tess, Anwar Tess dan kawan-kawan dengan
nuansa jazz. Juga dalam sebuah rekaman lama penyanyi Melky Goeslaw, ia pernah
membawakan lagu “Lala Yon” yang di iringi Yopie Item Band dengan aransemen
latin jazz.
Musisi jazz Ternate dapat ditelusuri hingga Jogja, tercatat Wahyudi Nachrawy
(alm), seorang guitarist jazz di Jogja yang cukup kesohor hingga akhir
hayatnya. Ia menjadi leader pada homeband Stasiun TVRI Jogja pada era 1980-an
sebelum maraknya stasiun televise swasta. Dari ayahanda Wahyudi Nachrawi,
Alm.Haji Ismail Nachrawi, pendiri group band The Indras, beliau menyampaikan
kepada saya bahwa sejak awal beliau membentuk band The Indras pada akhir
1970-an,sebenarnya diniatkan sebagai band jazz. Memang Ismail Nachrawy sejak
muda adalah musisi jazz di kota Makassar sezaman dengan orang tua penyanyi jazz
Drg.Rien Jamain. Beliau seangkatan dengan Jack Lesmana [Jack Lemmers] dan Bubby
Chen pada era 1950-an. Ismail Nachrawy sendiri adalah seorang pemain bass
guitar yang handal.
Nakh, benang merah panjang pertautan peradaban antar bangsa di Ternate ini,
yang akan ditampilkan dalam de Fort Oranje Cultural & Jazz Festival 2019.
Kita semua tahu bahwa tahun 2019, ditandai sebagai tahun politik. Tahun dimana
menjadikan bangsa ini sering lupa akan kebudayaan dan seni karena semuanya pada
terpana dengan politik yang kian memanas. Kitapun terkooptasi habis dalam
ujaran hate-speech[ujaran kebencian] dan hoax yang penuh muslihat di ruang
publik antara lawan politik satu dan yang lainnya. Namun ternyata masih ada
sekelompok anak muda seniman dan budayawan di Ternate, yang mau berkumpul dan
menampilkan sesuatu yang lain diluar gonjang - ganjing politik yang destruktif.
Mereka seakan tampil untuk memelihara nalar dan kewarasan berpikir kita melalui
festival ini.
Memang kita kadang lupa, bahwa musik jazz itu sangat terkait erat dengan
makna demokrasi yang sesungguhnya. Karena jazz menghadirkan kebebasan
improvisasi dari berbagai orang dan berbagai instrumen, tanpa kehilangan ritme
dan tempo serta harmoni. Jazz bukanlah lagu koor dimana semuanya harus searah
dan sama, karena berbeda berarti kesalahan alias fals. Yang memaksakan
kebersamaan adalah tindakan otoritarian, bukanlah demokrat sejati. Jika bisa
kita bedakan mana demokrasi dan mana bukan dalam perspektif seni. Maka jazz
sejatinya adalah sesuatu yang demokratis. Seandainya saja setiap elite politik
negeri ini, dapat mengapresiasi musik jazz, saya yakin demokrasi pun akan
berjalan mulus tanpa benturan kemanusiaan. Karena musik adalah makanan bathin
yang akan memperkaya nurani dan memperhalus rasa. Tanpa kekayaan nurani dan
kehalusan rasa, kita adalah “homo homini lupus, bellum omnium contra omnes”
[manusia adalah serigala bagi yang lainnya, akan memakan satu sama lainnya],
sebagaimana dikatakan Thomas Hobbes dalam Leviathan.Filsuf Aristoteles juga
mengatakan bahwa manusia adalah mahluk zoon politicon, atau binatang politik.
Adapun jazz sendiri memang berkembang seiring irama blues, dari kaum hitam
yang tertekan di Amerika. New Orleans adalah kota asalnya. Justru itu ia bukan
musik gedongan atau milik kaum the have. Karena jazz, demikian juga blues,
sebenarnya adalahsimbol perlawanan terhadap ketertindasan manusia, exploitation
l’homme par l’homme tadinya. Ia adalah simbol kemerdekaan kemanusiaan yang
sesungguhnya.
Dan Fort Oranje Jazz Festival di Ternate ini, adalah sebuah agenda yang
monumental, seyogyanya dijadikan even tahunan bagi Kota Ternate dengan
menampilkan warna sejarahnya yang sangat kaya tersebut. Kita tahu bahwa Ternate
akan melaksanakan even ekspedisi rempah-rempah, sebagaimana telah dicanangkan
Pemerintah Kota Ternate. Lalu akan dibentuk “East and West Cultural Center and
Conservatorium” di Ternate yang digagas Dirjen Kebudayaan Profesor Hilman
Farid. Bahkan teman-teman lain akan mendeklarasikan terbentuknya Komunitas
Wallacea Ternateuntuk mengenang Alfred Russel Wallace, di samping Komunitas
Jazz Ternate. Belum lagi Tidore akan menjadi tuan rumah bagi perayaan 500 tahun
‘Eksepdisi Magellan’ keliling dunia, kegiatan mana melibatkan 10,000 lebih
pengunjung dari 23 kota dan 12 negara tersebut. Tentu semuanya bukan tidak
mungkin membutuhkan suguhan kebudayaan dan seni yang kuat cita rasa
peradabannya. Para partisipan Ekspedisi Magellan ini akan menetap selama 40
hari di Maluku Utara. Untuk itu, makna festival kali ini, bukan sekadar sebuah
even kosong, karena akan mengantar Maluku Utara menjadi destinasi wisata yang
layak dikunjungi oleh manca negara, disamping anak negerinya sendiri belajar
mencapai cita rasa peradaban dunia di negerinya sendiri. Sebagaimana fungsi
Ternate dari abad ke abad. Jogja misalnya memiliki Bromo Jazz Gunung setiap
tahunnya pada setiap Juli dimana perhelatan dilaksanakan di alam terbuka. Bromo
Jazz Gunung telah berlangsung sepuluh tahun. Demikian juga Bali, memiliki event
jazz tahunan Ubud Village Jazz Festival, sebagai pagelaran jazz bertaraf
internasional setiap tahunnya pada setiap Agustus untuk menarik wisatawan
dunia. Ini telah berlangsung sejak 2010. Mereka memadukan kearifan lokal dengan
nuansa jazz. Kota Makassar pun tak mau kalah, menyelenggarakan Makassar Jazz
Festival selama sembilan tahun terakhir di Benteng Rotterdam, Makassar.
Pagelaran jazz ini dikaitkan dengan hari ulang tahun Kota Makassar pada setiap
November. Kota-kota ini juga telah membentuk Komunitas Jazz masing-masing.
Pada Oranje Jazz Festival ini selain menampilkan grup lokal anak negeri,
juga menghadirkan bintang tamu musisi jazz nasional seperti Otti Jamalus dan
Yance Manusama serta drummer Deska Anugrah Samudra. Otti dan Yance sendiri
adalah pemilik sekolah musik jazz di sebuah kawasan elite di Jakarta. Otti
Jamalus memang berdarah Ternate. Adapun Yance Manusama, seorang bassist jazz
terbaik Indonesia ini, orang tuanya gugur di Halmahera sebagai perwira TNI
dalam peristiwa Permesta. Tidak mengherankan jika Kesatrian Pasukan Infateri
TNI di Akediri, Jailolo, mengabadikan nama Kesatrian Jance Manusama. Nama tersebut
mengabadikan nama Mayor TNI Jance Manusama yang gugur di Sungai Tiabo,
Halmahera.
Sekitar tahun 2000-an, menonton jazz seperti Ireng Maulana, Kiboud
Maulana dan Yance Manusama, maupun Otti Jamalus, dan Karim Suweleh hanya bisa
kita nikmati di klub jazz Jamz, awalnya di sudut Panglima Polim, Jakarta lalu
berpindah ke kawasan Semanggi, Jakarta. Sayangnya klub ini sekarang telah
bubar. Atau pada Executive Jazz Club The Black Cat, Kawasan Senayan.
Adapun perhelatan jazz akbar seperti Jakarta International Java Jazz
Festival setahun sekali diadakan pada setiap awal Maret.Saya selalu
mengikutinya sejak awal perhelatan akbar tersebut pada 2004. Beberapa waktu
lalu, saya sempat bertandang ke KBRI Warsawa, Polandia dan bertemu Duta Besar
Indonesia untuk Polandia, Peter Gontha, seorang pebisnis dan musisi jazz serta
promotor Jamz sekaligus penggagas perhelatan akbarJava Jazz Festival. Melalui
tangan dingin Peter Gontha, ia pernah mendatangkan Tania Maria dan James Brown
pada Java Jazz pertama 2004 di Covention Hall Jakarta. Peter juga sempat
menghadirkan Carlos Santana dan George Benson di arena Java Jazz, Kemayoran
Jakarta. Saya menyampaikan bahwa jazz harus terus digalakkan demi terwujudnya
demokrasi dan akal sehat. Sebaliknya tanpa jazz demokrasi pun akan redup bahkan
mati suri, karena kita bakal kehilangan akal sehat.
(*)